Oleh: Drs. H. Lukman Hakiem
(Peminat Sejarah)
Dalam sebuah program pekan raya bicara (talk show) di sebuah statsiun televisi, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Inspektur Jenderal Anton Charliyan menyampaikan bahwa negara dan dasar negara Pancasila dibuat dan dirumuskan oleh para ulama.
Sampai di sini, pernyataan jenderal bintang dua itu masih oke, oleh alasannya yaitu memang semenjak masa awal pergerakan kebangsaan di permulaan era XX, tidak terhitung banyaknya tokoh (zu’ama) dan ulama yang terjun dalam pergerakan nasional. Sebut contohnya H. Samanhoedi, H. M. Misbach, H. Hasjim Zaijnie, H. O. S. Tjokroaminoto, K. H. A. Dahlan, H. Fachroeddin, K. H. M. Hasjim Asj’ari, dan H. Agus Salim.
Takashi Shiraishi (2005) mengungkapkan fakta, bahwa di masa yang ia sebut sebagai “zaman bergerak” (1912-1926), kombinasi dr. Tjipto Mangunkusumo yang nasionalis dan H. M. Misbach yang muballigh reformis, telah membangkitkan semangat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah Belanda.
Anggota Panitia Sembilan
Akan tetapi ketika sang Jenderal dengan yakin dan penuh percaya diri mengatakan, bahwa pendiri Nahdlatul Ulama (NU) K. H. M. Hasjim Asj’ari dan pendiri Muhammadiyah K. H. A. Dahlan yaitu anggota Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), serta merta banyak kening berkerut.
Entah sang jenderal menerima pelajaran sejarah di mana, yang pasti Hadratusy Syaikh Hasjim Asj’ari dan Kiai Dahlan bukan anggota Panitia Sembilan. Boro-boro jadi anggota Panitia Sembilan, jadi anggota (BPUPKI) pun tidak.
Jik pendiri NU dan pendiri Muhammadiyah itu bukan anggota Panitia Sembilan, kemudian siapa saja sembilan tokoh yang menjadi anggota panitia kecil itu?
Dikutip dari RM. A. B. Kusuma (2009), kesembilan orang itu ialah: (Ir) Soekarno, (Drs. Mohammad) Hatta, (Mr) Muh. Yamin, (Mr. A. A) Maramis, (K. H. A.) Wachid Hasjim, (Mr. Achmad) Soebardjo, Kiai (Haji) A. K. Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Hadji Agoes Salim.
Hanya NU dan Muhammadiyah?
Belum habis keheranan kita mengenai rendahnya pengetahuan perwira tinggi kepolisian kita terhadap sejarah usaha bangsa, beredar video Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian.
Dalam video itu, Kapolri bercerita wacana instruksinya kepada seluruh jajaran kepolisian di segala tingkatan untuk bersinergi dan mendukung secara maksimal NU dan Muhammadiyah.
Lagi-lagi, hingga di sini, isyarat Kapolri itu baik-baik belaka. Sebab semua orang mafhum sekali bahwa NU dan Muhammadiyah yaitu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. Amal positif kedua organisasi itu untuk kemaslahatan bangsa, tidak perlu diragukan lagi.
Masalah muncul ketika Kapolri menambahkan keterangan bahwa kolaborasi dengan organisasi lain berada di nomor sekian. Lebih mengejutkan, Kapolri menyebut organisasi di luar NU dan Muhammadiyah hendak merontokkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Astaghfirullah! Lagi-lagi kita dipertontonkan fakta betapa rendahnya pengetahuan petinggi polisi kita terhadap sejarah usaha bangsa.
[video - Youtube]
Meskipun pidato Karnavian berbau politik belah bambu, saya yakin seyakin-yakinnya, umat Islam tidak akan terprovokasi. Tokoh-tokoh Muhammadiyah menyerupai Buya Ahmad Syafii Maarif, atau tokoh NU semisal K. H. Shalahuddin Wahid paling-paling tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala membaca statement Kapolri yang nihil pengetahuan sejarah itu.
Dikuatirkan, justru pegawanegeri kepolisian melakukan isyarat Kapolri secara membabi buta. Mengapa? Karena meskipun NU dan Muhammadiyah yaitu organisasi terbesar di Indonesia, tetapi tidak di seluruh wilayah Indonesia NU dan atau Muhammadiyah menjadi arus utama.
Peta Pemilu 1955
Pada pemilihan umum 1955, banyak partai politik Islam yang mengikuti pemilu antara lain Masyumi, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Perti, dan Partai Thariqat Islam Indonesia (PTII).
Hasil pemilu 1955 menawarkan dari 15 tempat pemilihan (dapil), NU menang di dua dapil yaitu di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sedangkan Masyumi menang Sumatera Utara (termasuk Aceh), Sumatera Tengah (sekarang mencakup Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau), Sumatera Selatan (sekarang mencakup Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka-Belitung, dan Lampung), Jakarta Raya, Jawa Barat (termasuk Banten) , Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara-Tengah, Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat), dan Maluku (termasuk Maluku Utara).
Melihat kenyataan tersebarnya bunyi Masyumi di seluruh Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa pada pemilihan umum 1955 hanya Masyumi satu-satunya partai yang sanggup disebut sebagai partai nasional. Di mana Muhammadiyah yang oleh Karnavian akan didukung maksimal?
Bersama dengan, antara lain, Al-Jam’iyatul Washliyyah, Mathla’ul Anwar, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad Al-Islamiyah, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), dan Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah yaitu anggota istimewa Partai Masyumi.
Para anggota istimewa Masyumi itu tersebar di aneka macam daerah: PUSA di Aceh, Al-Washliyah di Sumatera Utara, Mathla’ul Anwar di Banten, PUI dan Persis di Jawa Barat.
Jika kita ke Sulawesi, meskipun Kapolri memerintahkan untuk berhubungan hanya dengan NU dan Muhammadiyah, bagaimana mungkin Polisi Republik Indonesia sanggup mengabaikan Darud Da’wah wal Irsyad, atau Al-Khairat?
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), tidak mungkin Polisi Republik Indonesia sanggup menafikan Nahdlatul Wathan, organisasi Islam paling kuat di sana?
Bagaimana pula Polisi Republik Indonesia sanggup mengabaikan Mathla’ul Anwar, organisasi arus utama di Banten?
Di Sumatera Barat hingga ke Aceh, mungkinkah Polisi Republik Indonesia sanggup meniadakan eksistensi Perti dan Persatuan Tarbiyah (yang kini sudah menyatu kembali)?
Maka, isyarat Kapolri kepada seluruh jajarannya untuk hanya bekerja sama dengan NU dan Muhammadiyah, sungguh-sungguh isyarat yang tidak didukung oleh fakta lapangan dan pengetahuan yang benar.
Merontokkan NKRI?
Paling berbahaya, yaitu tuduhan dan kesimpulan Kapolri bahwa kalau NU dan Muhammadiyah telah terbukti sebagai tiang utama tegaknya NKRI, maka organisasi yang lain justru akan “merontokkan NKRI”.
Seandainya Jenderal Tito mau sedikit bersusah payah membuka buku “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945” terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia (1995) atau membaca karya RM. A. B. Kusuma, “Lahirnya UUD 1945” (2009), pasti Jenderal Tito akan menemukan fakta banyak tokoh di luar NU dan Muhammadiyah yang turut dalam ikhtiar mendirikan negara Indonesia.
Dari Panitia Sembilan, selain K. H. A. Wahid Hasjim (NU), dan K. H. A. Kahar Mudzakkir (Muhammadiyah), ada dua tokoh Sarekat Islam (SI) yaitu H. Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso.
Di BPUPKI, dua tokoh pendiri PUI: K. H. Abdul Halim dan K. H. Ahmad Sanusi, tercatat sebagai anggota. Ketika sidang pleno BPUPKI terancam macet karena banyak anggota yang menolak rumusan hasil Panitia Sembilan, Ajengan Sanusi menyelamatkan sidang dengan interupsinya yang jernih.
Bagaimana mungkin PUI yang didirikan oleh Ajengan Sanusi dan Mbah Abdul Halim akan merontokkan NKRI?
Jika Kapolri mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca buku Ir. Sukarno, “Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1” (1964), pasti Jenderal Tito akan bersua dengan satu Bab bertajuk: “Surat-surat dari Ende”. Itulah korespondensi antara Bung Karno yang sedang dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Ende, di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan tokoh Persis, Ustadz A. Hassan.
Membaca “Surat-surat dari Ende” terasa sekali rasa hormat Bung Karno kepada A. Hassan.
Kelak, salah seorang kader Persis, murid utama A. Hassan, Mohammad Natsir melalui Mosi Integral Natsir memerakarsai pembentukan NKRI.
Lantaran jasanya itu, ketika terbentuk NKRI, Presiden Sukarno menunjuk Natsir menjadi Perdana Menteri. “Siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi?” kata Bung Karno dalam nada bertanya menjawab pertanyaan wartawan Asa Bafagih. “Mereka (Natsir dan Masyumi) memiliki konsepsi menuntaskan problem bangsa secara konstitusional,” kata Bung Karno.
Sesudah istirahat dari politik praktis, Natsir dan kawan-kawan mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia yang antara lain memasilitasi pembangunan masjid kampus, perpustakaan pesantren, mengirim dai ke tempat terpencil dan tempat perbatasan.
Bagaimana mungkin Persis dan Dewan Da’wah dinomorsekiankan dan dianggap akan merontokkan NKRI?
Bagaimana mungkin PUI, yang tokoh utamanya, Ahmad Heryawan, selama 10 tahun terakhir menjadi gubernur Jawa Barat akan merontokkan NKRI?
Bagaimana mungkin Nahdlatul Wathan yang tokoh utamanya, Syaikh Zainul Majdi, selama 10 tahun menjadi gubernur NTB, akan merontokkan NKRI?
Tiba Saat Tiba Akal
Semakin banyak pertanyaan “bagaimana mungkin”, semakin tampak pidato Kapolri Tito Karnavian sama sekali tidak didukung fakta yang benar dan nihil pengetahuan sejarah.
Untuk meredam kegaduhan yang tidak perlu, ke depan, pidato seorang pejabat di lembaga apapun, sebaiknya disiapkan tertulis. Ini supaya setiap pidato pejabat selalu akurat dan terukur. Dengan itu, kita semua sanggup tolong-menolong belajar. Utamanya mencar ilmu sejarah usaha bangsa Indonesia dengan baik dan benar.
Bung Karno yang oratorpun, pidato-pidato resminya selalu tertulis.
Pidato-pidato tanpa teks, apalagi ditingkahi banyak tepuk tangan, sanggup mengakibatkan sang pemidato lupa segalanya.
Jika sudah begitu, yang berlaku ialah: datang ketika datang akal.[]
*Sumber: https://telusur.co.id/2018/01/29/pak-kapolri-pelajarilah-sejarah-dengan-benar/