Pengamat: Anies, Pesaing Terberat Jokowi
"Anies, Pesaing Terberat Jokowi"
Oleh: DR. Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Soal populer, Anies dan Jokowi beda tipis. Elektabilitas? Belum bisa diukur, alasannya yaitu Anies belum ada pernyataan.
Branding media, keduanya intens berjalan. Anies Gubernur DKI dan Jokowi Presiden RI. Dua-duanya diburu dan menjadi magnet media (media darling). Tinggal bagaimana kedua tokoh ini beradu imbas untuk sanggup simpati rakyat.
Membandingkan keduanya sangat menarik alasannya yaitu pertama, pernah sama-sama jadi gubernur DKI. Kedua, keduanya berada dalam posisi berseberangan dan bahkan persaingan. Ketiga, sama-sama punya peluang jadi capres di 2019.
Soal DKI, keduanya bisa dibandingkan melalui pertama, konsep. Kedua, bukti kerja. Ketiga, komitmen janji. Dan keempat ketegasan dan keberanian. Pencitraan? Sudah basi.
Secara kualitatif dan branding, keempat unsur di atas menjadi estalase yang terukur dan sanggup ditonton rakyat untuk membandingkan.
Soal konsep, Anies tak kalah dengan Jokowi. Jika Jokowi punya andalan Infrastruktur dan sejumlah kartu sakti, maka Anies menciptakan terobosan angkutan terkoneksi, DP 0%, Rumah Akuarium, Ok OCare, Ok Oce dan ada beberapa aktivitas lagi yang lain.
Program kartu sakti Jokowi, alasannya yaitu bermanfaat buat rakyat, tidak dihapus. Sebaliknya, oleh Anies diberi embel-embel "plus". Anies juga menerbitkan Kartu Lansia serta Kartu Pangan dan Pekerja untuk para buruh. Plus inilah yang memperlihatkan nilai tambah bagi Anies atas Jokowi.
Jika Jokowi mengandalkan kekuatan anggaran, Anies lebih menentukan memakai kekuatan inspirasi kreatif dan contoh gerakan. Tujuannya, semoga maksimal dalam penggunaan anggaran. Efektif, sesuai sasaran dan maksimal pemanfaatannya. Anies juga membentuk KPK DKI untuk mengawal dan mengawasinya.
Soal bukti kerja, Kartu Sakti ala Jokowi telah terealisasi. Infrastruktur? Sampai tiga gubernur berikutnya masih belum selesai. LRT, proyek patungan pemprov DKI dengan pemerintah sentra ini masih dalam proses penyelesaian. Kejar sasaran 2019 rampung. Kabarnya, alasannya yaitu faktor SOP yang kadang diabaikan, proyek mengalami sejumlah kecelakaan. Di beberapa lokasi ambruk.
Bagi Jokowi, proyek infrastruktur bisa jadi andalan. Satu bentuk kesuksesan Jokowi yang mesti diapresiasi. Kampanye pilpres 2019, bisa jadi bukti dan kebanggaan. Karena itu, mesti rampung ketika jadual kampanye tiba.
Bagaimana dengan Anies? Jika Jokowi butuh waktu dua tahun (2012-2014), maka Anies berupaya menunjukan kinerjanya tiga bulan. Transportasi terkoneksi sudah dimulai. Rumah DP 0% sedang dibangun. Rumah Akuarium sedang jalan. KJP Plus pribadi ekskusi. Begitu juga Kartu Pangan dan Pekerja untuk para buruh sudah diberikan. Juga Kartu Lansia sudah diputuskan. Community Action Plan (CAP) dan Ok OCare untuk pelayanan kesehatan sudah diluncurkan. KPK DKI sudah bekerja. Jakarta Satu untuk Sistem Pengawasan Terintegrasi juga sudah dibentuk.
Soal sabung cepat, Anies nampak lebih gesit dan energik. Tanpa harus banyak bicara dan marah-marah, Anies memperlihatkan kinerja yang lebih kreatif dan efektif.
Bagaimana dengan komitmen komitmen keduanya? Anies lebih gampang diukur. 23 komitmen sudah ditandatangani. Sudah pula dipublikasi. Masyarakat tinggal mengawasi dan mengoreksi: berapa komitmen yang nanti akan bisa dipenuhi. Sukses dan gagalnya Anies bisa dinilai semua orang. Tak ada celah untuk pencitraan. Rakyat telah mempunyai standar penilaian. Tinggal hitung prosentasi 23 janji.
Media menyebut 10 komitmen sudah dipenuhi. Tinggal 13 lagi. Masyarakat harus terus diingatkan untuk managih bukti. Jika tuntas, Anies sukses. Jika tak semua dipenuhi, publik berhak menghukum Anies sebagai gubernur gagal.
Janji Jokowi? Tak ada angka yang niscaya terkait jumlah janji. Yang jelas, cukup banyak. Biasa, di setiap pilkada, pileg dan pilpres, para calon obral janji. Mereka anggap, sehabis jadi, rakyat lupa untuk menagih. Umumnya, mereka abai untuk menghitung jumlahnya, rasionya, dan juga time linenya.
Karena tak terkalkulasi persis berapa jumlah komitmen politiknya, maka tak gampang untuk menciptakan prosentase sukses gagalnya terkait komitmen politik Jokowi. Agak sulit untuk diukur. Kendati tetap bisa membacanya dari besarnya perubahan/pertumbuhan dan juga kepuasan rakyat selama Jokowi memimpin.
Setidaknya, masyarakat masih teringat beberapa komitmen Jokowi. Diantaranya, tidak akan menggusur. Semua bangunan rumah penduduk di atas 20 tahun, dimanapun lokasi bangunannya, akan mendapat hak sertifikat. Terbukti? Tidak. Sebaliknya, yang ada malah penggusuran di sejumlah tempat. Parahnya, sejumlah penggusuran dibarter Ahok dengan proyek reklamasi.
Disinilah kepingan dari fakta yang membuka peluang publik, terutama pihak yang tidak suka, untuk mengkritisi Jokowi.
Terkait dengan pilpres, Jokowi punya catatan lebih serius lagi. Soal janji-janji politik, oleh publik banyak yang dianggap tak bisa dipenuhi. Pertama, bergesernya "kabinet kerja" menjadi "kabinet koalisi." Kedua, komitmen negara tidak hutang, malah aduhai hutangnya. Ketiga, Indosat akan dibeli kembali, buktinya banyak aset negara yang dijuali. Keempat, swasembada pangan, justru kini impor beras, gula dan garam. Kelima, menyiapkan 10 juta lapangan kerja, malah para pekerja China yang datang, dan jumlah pengangguran negeri ini bertambah. Keenam, Jaksa Agung non partai, NasDem malah ambil jatahnya. Ketujuh, tak hapus subsidi BBM, tapi BBM naik di ketika harga minyak dunia turun. Artinya, subsidi dikurangi. Kedelapan, banjir dan kemacetan Jakarta teratasi jikalau Jokowi jadi presiden, nyatanya tidak juga. Kesembilan, kendaraan beroda empat Esemka, setidaknya sampai kini belum diproduksi. Kesepuluh, pertumbuhan ekonomi 8%, sampai kini belum pernah tercapai. Kesebelas dan seterusnya, tentu akan selalu diburu dan dicari-cari lawan politiknya.
Komitmen komitmen Jokowi ini menjadi titik lemah dalam persaingannya di pilpres 2019 nanti. Tim Jokowi mesti melaksanakan pertama, percepatan dalam menunaikan janji-janji yang masih mungkin direalisasikan. Waktu tak banyak tersisa. Kedua, mengemas program-program andalan yang sudah terlaksana menjadi tampak sangat sukses. Biar kelihatan aduhai dan luar biasa. Ketiga, mempersiapkan "double cover" untuk menangkis setiap serangan terkait komitmen politik yang tak bisa dipenuhinya. Buat "jurus berkelit" yang jitu.
Jika Anies ditakdirkan jadi lawannya, Jokowi diprediksi akan sangat kewalahan. Soal menyerang, Anies punya kemampuan taktis di atas rata-rata. Anies orang yang cerdas membaca dan mengoreksi data.
Jokowi tentu tak ingin Anies jadi lawan tandingnya. Caranya? Diantara pilihan yang dianggap paling cerdas yaitu melaksanakan akuisisi. Anies jadi cawapres Jokowi. Anies bersedia? Jika jawabannya iya, Anies dipastikan akan kehilangan simpati dan muka. Terutama di hadapan para pendukungnya. Orang malah bisa menuduhnya oportunis dan pemburu jabatan.
Ketegasan dan keberanian? Jokowi dikenal publik bersahabat dengan taipan. Dalam beberapa hal, tak gampang bagi Jokowi untuk tegas dalam keputusan. Terutama jikalau menyangkut kepentingan Taipan. Tidak hanya Jokowi, umumnya presiden Indonesia mengalami hal yang sama.
Sebagai gubernur, Anies menegaskan posisinya tidak mau didekte oleh taipan. Alexis ditutup dan reklamasi dihentikan. Pembelian Rumah Sakit Sumber Waras dinego ulang alasannya yaitu terbukti ada kesalahan. Dan Pemprov DKI rugi 191,33 milyar. Jika tidak mau, terpaksa dibawa ke pengadilan.
Tak ada beban bagi Anies terhadap taipan menciptakan Anies berani dan tegas dalam mengambil setiap keputusan. Meski harus berlawanan dengan taipan, bahkan kadang harus menghadapi kekuasaan.
Dari fakta-fakta itu, Anies berpengaruh di terobosan ide, terukur komitmen dan komitmennya, serta lebih punya ketegasan dan keberanian. Ini bisa Anies lakukan, alasannya yaitu ia bebas dari jasa dan sandera taipan. Tak banyak kepala daerah, termasuk pemimpin negara, yang bisa keluar dari jalur dan jeratan modal para taipan.
Bagaimana jikalau Anies jadi presiden? Samakah perilaku tegasnya menyerupai ketika jadi gubernur? Waktu yang akan membuktikan.
Langkah-langkah Anies ini bisa dikapitalisasi timsesnya untuk menjadi merk yang akan sangat berarti untuk menandingi Jokowi di 2019.
Anies punya potensi besar menjadi pesaing terberat Jokowi di pilpres 2019. Ini tak menutup kemungkinan jikalau Prabowo legowo. Sebab, dibanding Prabowo, Anies lebih menjanjikan. Sebagai "King Maker", Prabowo bisa menjadi pemain yang sesungguhnya.
Jika Anies menang, maka itu juga merupakan kemenangan Gerindra. Gerindra akan terlibat bantu urus pemerintahan. Ujungnya, Prabowo juga pemenangnya.
Jakarta, 25/1/2018