Wartawan Senior: Indonesia Butuh Pemimpin Yang Visioner Dan Karismatik
[PORTAL-ISLAM.ID] Kalau tak mungkin mendapat pemimpin yang visioner dan karismatik sekaligus, yang visioner saja pun sudah memadai bagi bangsa Indonesia yang sedang gonjang-ganjing ini. Visioner dan karismatik sangat penting. Dan teramat penting untuk memimpin Indonesia. Akhir-akhir ini kita kesulitan mencari figur yang mempunyai dua sisi itu. Dalam situasi yang “belepotan” menyerupai kini ini, setidaknya pemimpin Indonesia harus visioner.
Sebab, seorang pemimpin yang visioner berpeluang untuk membangun pilar-pilar karisma yang akan menciptakan ia bisa tepat untuk disebut sebagai pemimpin yang karismatik. Jadi, visioner yaitu persyaratan minimal bagi seorang pemimpin untuk negara besar menyerupai Indonesia.
Sekadar mengulang kaji, visioner yaitu orang yang mamiliki citra perihal arah yang seharusnya ditempuh oleh bangsa dan negara. Ia mempunyai ajaran dan perencanaan perihal masa depan. Ia memakai imajinasi atau kearifannya. Visioner mencakup sangat banyak makna. Kamus-kamus Inggris menyamakan kata ini dengan 21 kata yang menggambarkan perihal kemampuan nalariah (aspek akal) dan naluriah (aspek bakat) seseorang.
Dari 21 makna sinonimis itu, ada beberapa yang sangat fundamental bagi seorang visioner. Yaitu cerdas (shrewd), inovatif, intuitif, pintar, bijak, banyak gagasan (resourceful), dan berpandangan jauh (far-sighted). Tanpa tujuh “modal dasar” ini, orang tersebut akan mengalami kesulitan untuk memproyeksikan dirinya sebagai seorang pemimpin. Tanpa tujuh hal itu, seorang yang telah dinobatkan sebagai pemimpin akan menghadapi duduk perkara untuk mengendalikan bundar kekuasaannya.
Dia akan karam oleh hiruk-pikuk orang-orang yang mengetahui kelemahan dirinya. Dia mencari seseorang atau beberapa orang yang dianggapnya mempunyai kemampuan lebih dan bersedia dijadikan “tangan kanan”. Ini merupakan satu-satunya solusi yang tersisa. Orang model begini belum tentu “bodoh”. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa ia tidak mempunyai pandangan perihal bagaimana bentuk masyarakat yang cocok bagi Indonesia untuk satu-dua generasi mendatang.
Nah, mengapa seseorang yang tidak visioner bisa muncul menjadi pemegang kekuasaan penting? Biasanya, keberagaman masyarakat yang kemudian melahirkan kopetisi ideologi yang berlangsung sengit, menciptakan golongan yang kecil secara electoral tetapi besar dari segi kekayaan ekonomi-keuangan bisa melaksanakan rekayasa politik sehingga seseorang yang “bisa diatur”, naik ke tampuk kekuasaan.
Sekiranya ada sebutan “laboratorium politik”, maka Indonesia pantas dikatakan sedang bereksperimen dengan pemimpin yang tidak visioner. Seumpama eksperimen-eksperimen ilmiah, tentu saja uji coba pemunculan pemimpin yang tak visioner bisa sukses atau bisa gagal. Hanya saja, perlu diingat bahwa eksperimen ilmiah tidak sama dengan eksperimen politik.
Eksperimen ilmiah di laboratorium bisa diukur secara niscaya keberhasilan atau kegagalannya, sedang eksperimen politik akan memunculkan perdebatan perihal keberhasilan dan kegagalan itu. Artinya, gagal berdasarkan satu pihak boleh jadi berhasil berdasarkan pihak lain. Ini yang pertama. Yang kedua, “cost” (biaya) eksperimen ilmiah relatif kecil, sedangkan eksperimen politik bisa menelan biaya yang setara dengan kehancuran sebuah negara.
Lebih-kurang begitulah kemungkinan risiko proyek politik yang merekayasa kemunculan pemimpin yang tidak visioner.
Seterusnya, seorang pemimpin yang mengendalikan negara sebesar Indonesia ini, wajib hukumnya mempunyai karisma. Dia harus karismatik. Ronald Riggio PhD mengatakan, lebih 30 tahun ia mempelajari perihal karisma, yaitu kemampuan (kualitas) personal yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Riggio menyimpulkan, ada enam (6) elemen karisma personal yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin yang karismatik.
Pertama, “emotional expressiveness”. Ia bisa berbicara dengan lancar secara impulsif dan sangat natural. Apa yang ia katakan biasanya bisa menghipnotis emosi atau suasana orang lain. Kedua, “emotional sensitivity”, yaitu bisa membaca emosi orang lain dan bisa tersambung dengan perasaan orang lain. Ketiga, “emotional control”. Yaitu, bisa mengendalikan emosi, tidak pernah lepas kontrol.
Keempat, “social expressiveness”. Pemimpin karismatik mempunyai kemampuan komunikasi yang menciptakan audiens terkagum-kagum dan terhibur. Kata-kata yang diucapkannya selalu berisi –“powerful”, dalam istilah Riggio. Kelima, “social sensitivity”. Yakni, mempunyai kepekaan sosial yang tinggi; bisa membaca dan menafsirkan situasi sosial; dan mau mendengarkan orang lain. Keenam, “social control”. Yaitu, canggih dalam memainkan peranan sosial; bisa menyesuaikan dengan semua jenis orang.
Itulah ramuan pemimpin yang karismatik. Ciri utama orang yang berkarisma adalah, bila ia masuk ke sebuah ruangan maka serta-merta suasana di ruangan itu impulsif hidup, bersemangat, dan tak jarang menjadi gemuruh.
Lantas, kapan kita bisa mempunyai pemimpin yang visioner sekaligus karismatik? Kapan kita punya pemimpin yang mempunyai konsep perihal tujuan yang pas bagi rakyatnya (visioner), dan kemudian selalu didengarkan serta bisa menciptakan orang terkagum dan rela dipimpin (karismatik)?
Jawabannya, wallahu a’lam. Rakyat harus terus optimis. Masih ada kesempatan. Dan niscaya ada orang yang mempunyai standar itu. Harus ada diantara 250 juta rakyat negara ini. Tidak boleh tidak. Karena itu, momen pemilihan pemimpin berikutnya jangan hingga tersia-siakan.
Penulis: Asyari Usman (Wartawan senior)