[PORTAL-ISLAM.ID] Andaikata Indonesia mempunyai budaya “self appraisal” (menilai diri), maka hari ini kita seharusnya membaca judul informasi “Tito Karnavian Meletakkan Jabatan”. Kita akan melihat siaran pribadi dari Mabes Polisi Republik Indonesia yang menayangkan pernyataan singkat Jenderal Tito di depan pintu masuk gedung. Awak media dengan belasan kamera, siap rolling. Live event. Pak Tito mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Kapolri.
Selesai mengumumkan pengunduran dirinya, Pak Tito pribadi menuju ke Istana untuk melaporkan kepada Presiden Joko Widodo ihwal keputusan terbaik yang diambilnya. Keputusan demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Polisi Republik Indonesia dan juga terhadap pemerintah secara keseluruhan.
Presiden menunjuk Wakapolri sebagai Pjs Kapolri, menunggu fit and proper test di DPR.
Begitulah kira-kira urut-urutan insiden yang seharusnya terjadi sehabis terungkap bahwa Pak Tito menyudutkan dan memburukkan ormas-ormas Islam di luar NU dan Muhammadiyah sebagai pihak yang tidak perlu bersinergi dengan mereka; bahwa mereka ialah ormas-ormas yang akan menghancurkan negara.
Di penggalan dunia lain, para pejabat penting yang melaksanakan kesalahan fatal, bahkan terkadang kesalahan kecil sekalipun, seringkali mereka bayar dengan peletakan jabatan. Begitulah tingginya kesadaran mereka. Kesadaran bahwa jika mereka tidak mundur, maka polemik di media akan berlanjut terus. Si pejabat penting akan menjadi beban pemerintah.
Kepala pemerintahan, apakah itu perdana menteri (PM) atau presiden, akan dicecar terus dengan pertanyaan-pertanyaan menohok. Berhari-hari media membahas apakah si pejabat masih pantas bertahan atau tidak. Biasanya, seorang pejabat yang telah melaksanakan kesalahan fatal, pribadi mengerti apa yang yang harus dilakukannya. Dan dia sudah tahu bahwa jika dia tidak mundur, hampir niscaya akan dipecat. Sebab, PM atau presiden tidak akan membiarkan kasus si pejabat mengambil alih perhatian media dan masyarakat.
Di negeri kita lain. Pejabat yang menciptakan kesalahan fatal, menyerupai yang dilakukan oleh Pak Tito, tidak bakalan mengambil langkah mengundurkan diri. Dan, kepala pemerintahan pun juga tidak merasa perlu memecat bawahannya yang jelas-jelas telah melaksanakan kekeliruan yang “irreparable” (tak dapat diperbaiki). Itulah Indonesia: yang seharusnya dianggap dilema menjadi bukan masalah, yang bukan dilema menjadi masalah.
Nah, sebesar apa kesalahan Pak Tito terkait penyataannya ihwal ormas-ormas di luar NU dan Muhammadiyah yang dia sebut akan meruntuhkan NKRI?
Sangat, sangat serius. Pernyataan menyerupai ini tendensius. Ormas-ormas di luar NU dan Muhammadiyah kini ini merasa terpojok dan menjadi tertuduh. Mereka dituduh sebagai ormas-ormas yang akan merontokkan Indonesia. Labelisasi menyerupai ini sangat destruktif. Character assassination, pembunuhan karakter.
Kesalahan ini masuk kategori “you are finished”. Alias, tak dapat dilanjutkan lagi. Tidak harus Pak Tito menjadi pejabat di Eropa, Amerika atau Jepang. Di sini pun sudah sangat mengganggu. Bagaimana mungkin Pak Tito memperbaiki hubungan dengan para pemimpin dan warga ormas-ormas yang telah dia label sebagai “penghancur negara”?
Tidak mungkin! Sebab, pernyataan Pak Tito itu bukan keseleo biasa. Labelisasi dia terhadap ormas-ormas non-NU dan non-Muhammadiyah sangat kental berkonten ideologi. Artinya, pernyataan Pak Tito itu ialah kesimpulan ideologis dia bahwa ormas-ormas itu ialah “musuh negara”. Dari sini, Pak Tito sebagai Kapolri lalu melembagakan perilaku institusi Polisi Republik Indonesia terhadap ormas-ormas yang dianggap berbahaya tersebut.
Pak Tito masih mencoba melaksanakan “damage limitation exercise”. Melakukan langkah-langkah untuk memperkecil kerusakan. Beliau menjumpai pimpinan ormas-ormas yang terpojok itu. Boleh-boleh saja. Tetapi, ada lagi istilah “damage has been done”. Luka yang mereka alami membekas sangat dalam. Paluk-pelukan dan senyum lebar mustahil menghilangkan luka “tusukan yang mematikan” itu.
Nasi telah menjadi bubur. Pejabat tinggi Polisi Republik Indonesia bidang penerangan, Brigjen Mochammad Iqbal, mengatakan, video Pak Tito yang beredar itu dipotong dari 26 menit menjadi 2 menit. Kata Pak Iqbal, ini menimbulkan pesan yang terdengar menjadi tidak utuh.
Akan tetapi, video versi 2 menit itu sama sekali tidak menyesatkan orang yang mendengarkannya. Cukup terperinci apa yang dikatakan Pak Tito bahwa hanya NU dan Muhammadiyah yang berjuang membangun Indonesia, sedangkan ormas-ormas lain bukan pendiri negara sebaliknya mau merontokkan negara.
Kaum muslimin itu pemaaf. Seratus persen benar. Pasti semua tulus memperlihatkan maaf. Tetapi, pintu ini bukan untuk dieksploitasi oleh orang-orang yang telah mempunyai rekam jejak yang sumbang terhadap kaum muslimin.
Penulis: Asyari Usman