Amien, PK, dan Gundah Itu
[PORTAL-ISLAM.ID] Dalam buku Autobiografinya, Amien Rais (Ketua MPR) menuturkan pemilihan presiden pertama pemilu hasil reformasi 1999 yang masih sistem dipilih MPR:
Dalam perjalanan ke mobil, saya dikejar oleh Mas Adi Sasono dan Dawam Rahardjo. Ia mengatakan, “Mas Amien, tentang kekhawatiran Anda, teman-teman NU akan terkejut karena bukan Gus Dur yang dijagokan, masalah itu serahkan kepada kami berdua. Kami akan meyakinkan ke teman-teman NU dan pondok pesantren bahwa memang pilihan itu kepada Anda bukan kepada Gus Dur.”
Tetapi saya mengatakan, “Saya kan tahu sejarah sedikit. NU itu, dalam sejarah Indonesia modern sering dipecundangi oleh keluarga Bulan Bintang, bahkan berkali-kali. Tiap kali ada jatah kabinet, mesti yang ambil jatah Masyumi. NU tidak pernah mendapat jatah kecuali ketika NU berkoalisi dengan PNI dan PKI. Saya tidak ingin trauma seperti itu terulang kembali. Sudahlah saya akan kembali pulang dulu.”
Kemudian saya kembali ke Hotel Mulia. Di sana sudah ada Nurcholish Madjid, teman-teman PAN seperti Hatta Rajasa, teman-teman muda PK (Partai Keadilan), seperti Fachri Hamzah, Anis Matta, Nur Mahmudi, dan lain-lain. Mereka tahu persis perbincangan di rumah Pak Habibie itu. Ketika saya masuk ke kamar hotel, adik-adik PK itu ada yang menangis.
“Kenapa Pak Amien tiba-tiba seperti Pak Nasution? Dulu waktu Pak Nasution menjadi ketua MPR juga diminta menjadi presiden, Pak Nasution tidak mau karena beberapa alasan. Akhirnya Pak Harto yang jadi presiden. Pak Amien harus ingat tanggung jawab di akhirat, ini ada risikonya,” kata salah seorang di antara mereka.
Ketika saya mendengar kata-kata 'akhirat' saya sedikit tergerak. Saya juga melihat air mata teman-teman PAN dan adik-adik PK ini begitu tulus. Terus terang saya menjadi goyah.
Di situ ada Syafi'i Ma'arif yang tangannya bersedekap terus dan jalan-jalan berputar-putar melihat keluar dari jendela hotel. Saya kemudian menegurnya, “Hei, Bung Syafi'i. Anda kan sekarang ketua Muhammadiyah dan saya anggota Anda, jadi saya minta fatwa Anda. Bagaimana ini? Saya terima apa tidak tawaran di rumah Pak Habibie itu (untuk maju kandidat capres -red)?”
Dia mengatakan, “Mas Amien, jangan tanya saya. Saya juga bingung. Kalau orang sedang bingung jangan ditanya!”
Seketika saya ingat, bahwa kata putus harus saya dengarkan dari ibunda saya. Saya kemudian mengangkat gagang telepon. Saya ceritakan isi rapat di rumah Pak Habibie. Kemudian ibu saya dengan suara yang penuh wibawa mengatakan, “Amien. Kamu harus jadi orang yang istiqamah. Kaplingmu untuk masa depan adalah menjadi ketua MPR, titik. Menjadi presiden bukan kaplingmu. Biarkanlah orang lain yang mengambil kapling itu.”
Setelah itu saya menjadi lega. Saya langsung menelepon Pak Habibie. Jawaban saya singkat. Saya tidak mau menjadi calon presiden dan saya akan tetap memimpin MPR mengelola pertarungan kompetisi antara Gus Dur dan Megawati.
(Diketik ulang _Amien Rais, Inilah Jalan Hidup Saya_; Autobiografi seperti dituturkan kepada Bagus Mustakim dan Nurhuda Kurniawan_, 2010: 189-190)
=======================================
Kuis: siapakah sosok yang menangis dan berujar soal Nasution pada Amien Rais itu? | (a) Hatta Rajasa (b) Anis Matta (c) Fachri Hamzah (d) Nur Machmudi (e) Bukan tokoh a-d.
Jawaban:
Lelaki yang menangis dan mengesankan Amien Rais itu adalah Anis Matta. Bacaan soal biografi dan sejarah membuatnya mampu menganalogikan apa yang ditempuh Amien dengan Pak Abdul Haris Nasution. Diksi ucapan yang dramatis juga jelas ciri khas Anis. Dua hal ini belum melekat pada orang yang kelak mengaguminya: Fahri Hamzah. Menurut Fahri, sejak kejadian yang dituliskan Amien itu, sang pendiri Partai Amanah Nasional menaruh hormat pada Anis Matta.
(by Yusuf Maulana)