Kala Nabi Muhammad Lahir, Jazirah Arab Terimpit Tiga Imperium Besar
[PORTAL-ISLAM.ID] Dalam pembabakan sejarah dunia, periode ketika Nabi Muhammad hidup lazim disebut sebagai late antiquity (abad kuno akhir). Zaman ini, berdasarkan konvensi para sejarawan Barat, berlangsung dari abad ke-3 hingga ke-8.
Abad kuno akhir ditandai dengan transformasi kolosal warisan kebudayaan klasik (Yunani dan Romawi) di bagian barat dan Persia di sebelah timur. Keduanya merupakan peradaban besar yang telah berjaya sejak ribuan tahun sebelumnya.
Warisan kebudayaan klasik kala itu dilanjutkan Kekaisaran Byzantium yang merupakan penerus Imperium Romawi. Beberapa sejarawan bahkan kerap menjulukinya ‘Imperium Romawi Terakhir’. Ibu kota kekaisaran ini berada di Konstantinopel (Istanbul saat ini) sekaligus menjadi pusat agama Kristen Timur/ Kristen Ortodoks.
Pada masa sekitar kelahiran Nabi Muhammad, Byzantium begitu dominan di bagian timur Mediterania. Secara politik kekaisaran ini mewarisi ambisi imperial Romawi yang gemar menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya dan dalam hal birokrasi meneruskan kecakapan administrasi pendahulunya.
Dalam buku klasik Byzantine Civilization (1933), sejarawan Steven Runciman mengungkapkan betapa Byzantium amat rapi dalam mengelola negara untuk ukuran zaman itu.
“Sangat sedikit negara pada saat itu yang telah mengorganisasi diri secara baik [sebagaimana Byzantium] dan sangat berhati-hati diarahkan untuk mencegah kekuasaan berada di tangan orang-orang inkompeten,” tulisnya (hlm. 51).
Sementara itu, pada saat bersamaan, di belahan timur, Kekaisaran Sasaniyah berbangga diri atas tradisi panjangnya sebagai penerus Imperium Persia kuno. Agama mayoritas di kekaisaran ini adalah Zoroaster. Sumber-sumber primer tentang Sasaniyah (dikenal juga dengan nama Persia Baru) memang teramat sedikit dibandingkan Byzantium, tapi paling tidak berbagai referensi menyebut kekaisaran ini menguasai wilayah luas di sekitar Iran, Irak, Asia Tengah, hingga semenanjung Arab bagian timur.
Dominasi dan pengaruh sosial-politik Sasaniyah di belahan timur bisa dikatakan sebanding dengan Byzantium di barat. Perbedaan mencolok di antara keduanya terletak pada sentralisasi dan integrasi kekuasaan. Sasaniyah memang memiliki penguasa tertinggi dalam wujud kaisar—yang paling besar adalah Koshrow I (Kishra Anusirwan)—tapi ia tidak mempunyai kewenangan administrasi yang efektif. Banyak keluarga aristokrat kuat yang menentangnya.
Meski demikian, sebagai kekaisaran besar, Sasaniyah tetap menjadi entitas politik dan militer terkuat di belahan timur. Hal ini membuat Byzantium lebih berhati-hati mengambil langkah ekspansionis.
Sebenarnya ada satu lagi kekuatan politik besar kala itu yakni Kerajaan Aksum. Letaknya persis berada di sebelah barat semenanjung Arab menyeberangi Laut Merah. Wilayah kekuasaannya meliputi Etiopia utara dan Eritrea sekarang.
Dibanding Byzantium dan Sasaniyah, pengaruh serta jangkauan kekuasaan Aksum sangat terbatas. Aksum juga lebih banyak mengikuti Byzantium karena persamaan agama. Lagi pula sumber-sumber mengenai kerajaan ini amat sedikit.
Selama berabad-abad dua kekuatan besar tersebut (Byzantium-Sasaniyah/Persia) bertarung memperebutkan pengaruh dan wilayah. Banyak peperangan meletus. Begitu pula ramai persinggungan kultural di antara mereka.
Seekor Pelanduk di antara Dua Gajah
Persis di tengah pertarungan dan tarik-menarik pengaruh antar-kekaisaran itu, peradaban Arab eksis dalam dunianya sendiri. Tidak ada kerajaan besar di jazirah ini pada akhir abad ke-6. Ia bak pelanduk di antara dua gajah yang bertikai.
Tapi bagaimanapun juga semenanjung Arab bukan tempat terkucil yang tak terjangkau peradaban-peradaban besar. Wilayah itu tetap terintegrasi secara sosio-kultural dengan dunia di sekitarnya.
“Arab ketika itu (abad ke-6) bukan merupakan tempat yang terisolasi, tetapi merupakan bagian dari dunia berbudaya yang sangat luas yang mencakup wilayah Timur Dekat dan Mediterania Timur,” tulis sejarawan Fred M. Donner dalam bukunya yang kontoversial, Muhammad dan Umat Beriman: Asal-Usul Islam (2015: 3).
Entitas politik besar terakhir di semenanjung Arab adalah Kerajaan Himyar di Yaman yang hanya bertahan selama empat abad (runtuh tahun 525). Karena tidak adanya kerajaan, ditambah lagi dengan sumber-sumber pertanian yang terbatas, kekuatan politik masyarakat Arab terpecah ke dalam banyak suku dan klan.
“[...] di sebagian besar Arab … tata aturan sosial dan politik dibentuk di seputar keluarga dan kelompok keturunan darah yang mengikat masyarakat di dalam solidaritas dan pertahanan bersama,” lanjut Donner (hlm. 31-32).
Di tengah konteks geopolitik macam itulah Nabi Muhammad lahir. Ia kemudian mengubah percaturan politik di semenanjung Arab dan meraih tempat tersendiri dalam sejarah dunia.
Oleh: Ivan Aulia Ahsan
Sumber: Tirto