INJIL BUKAN MINANG, HARGAI KEARIFAN LOKAL


INJIL BUKAN MINANG

Orang Padang pasti orang Minang, tapi orang Minang gak selalu orang Padang.

Minang itu adalah etnis, bukan nama daerah. Etnis Minang berada di wilayah Sumatera Barat, dan juga di daerah lainnya. Padang adalah nama suatu daerah, berbeda dengan etnis.

Heboh Injil dengan berbahasa Minang, memang menyulut emosi warga Sumatera Barat. Bagi mereka, etnis Minang itu adalah Islam. Jika ada orang Minang beragama non Islam, maka ia sudah keluar dari Minang.

Suka gak suka, emang begini adatnya. Mungkin ia tidak terusir dari ranah Minang. Namun bagi masyarakat, dirinya bukan lagi dianggap orang Minang ketika tidak beragama Islam.


Pernah ada kejadian di Bukittinggi, sebuah gereja memasang marawa (umbul-umbul/bendera) besar dalam perayaan agama mereka, dengan warna dasar ranah minang Hitam, Merah, dan Kuning. Setiap warnanya mengandung nilai sejarah yang tinggi tentang asal usul orang Minang.

Pemasangan marawa ini menyulut emosi warga. Marawa itu sakral bagi orang minang. Penggunaannya dipakai pada perayaan besar adat Minang. Perayaan di gereja bukanlah perayaan adat Minang, atas pemasangannya masyarakat protes dan ngeruduk gereja meminta marawa diturunkan. Pihak gereja dilarang memasang marawa itu dalam kegiatan apapun.

Pihak gereja memahami kesalahannya, mungkin maksud mereka ingin memperlihatkan bahwa mereka adalah Minang. Namun ada benang merah yang tidak bisa mereka samakan semuanya.

Semua daerah membanggakan kearifan budaya lokal yang meminta semua pihak memahami tentang kebiasaan dan adat setempat.

Saat masyarakat Minang tidak menerima bahasa mereka dipergunakan dalam terjemahan Injil, ya harus dimaklumi. Karena Minang bagi masyarakat Sumbar itu adalah IDENTITAS. Mereka tidak ingin identitas yang mereka banggakan malah tercantum pada injil. Karena injil bukan representatif agama mereka.

Untuk Alquran saja mereka tidak menggunakan terjemahan bahasa Minang dalam tafsirnya. Kenapa Injil harus memakai bahasa Minang dalam terjemahannya?

Ini bukan bentuk INTOLERAN, tapi sebagai bentuk menjaga apa yang sudah terjaga selama ini.

Pergunakan aja bahasa Indonesia dalam terjemahan Injil. Gak perlu memakai bahasa daerah setempat jika masyarakatnya tidak setuju. Sejauh ini, jumlah non muslim di ranah Minang justru dicatatkan oleh para pendatang. Jika hanya para pendatang yang memakai injil, mengapa harus memaksakan bahasa Minang dalam terjemahannya?

Selama ini para pendatang non muslim justru jarang menggunakan bahasa Minang dalam kehidupan sehari-harinya, kok memaksa bahasa Minang untuk kitab sucinya?

Yang sudah berjalan baik, jalankan saja tanpa perlu mencoba menyenggol prinsip yang sudah tertanam.

Di ranah Minang, anda baik akan dihargai. Anda mencoba mengusik, akan memancing reaksi.

(SB)

Share Artikel: