Penting dan Uniknya Sila “KETUHANAN YANG MAHA ESA”, Bukan Ketuhanan yang Berkebudayaan


Penting dan Uniknya Sila “KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Oleh: Dr. Adian Husaini

Hari Sabtu (20/6/2020), saya mendapat kiriman WA berharga dari Ketua Akademi Jawi Malaysia, Mohammad Syukri Rosli, M.Phil. Kiriman itu berupa naskah tafsir QS al-Ikhlas dalam Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid, karya Syekh Abdul Rauf al-Fansuri (w. 1693 M). Tarjuman al-Mustafid adalah naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.

Tafsir Tarjuman al-Mustafid, telah menerjemahkan kata "Ahad" dalam surat Al-Ikhlas dengan "Esa", bukan "Satu" atau “Tunggal”. Uniknya, dalam sila pertama Pancasila, untuk Ketuhanan diberikan sifat "Maha Esa". Jadi, bukan asal atau sembarang Ketuhanan! Yang benar adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. 


Tafsir ini dan juga beberapa kitab para ulama lainnya sudah menggunakan kata “Esa” sebagai terjemah kata “Ahad”. Bahwa, Allah adalah Tuhan yang Satu, dan Tidak terbagi-bagi. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno juga menyebut Ketuhanan yang dia maksudkan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan hanya Ketuhanan yang berkebudayaan.

Penting dan uniknya sila pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa – telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini sejak 18 Agustus 1945 dan ditegaskan lagi dalam Dekrit Presiden Soekarno,  5 Juli 1959.  Dekrit Presiden Soekarno itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945.

Merujuk kepada Dekrit Presiden Soekarno itu,  maka bunyi sila pertama Pancasila menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”   Karena itu, Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan pada urutan pertama. Rumusan inilah yang telah menjadi kesepakatan nasional, bukan hanya pendapat pribadi Bung Karno.

Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila,  (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”.

Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan: ”Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi.” (Lihat, Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).

Tidak sama 

Jadi, kedudukan kelima sila Pancasila tidaklah sama. Yang terpenting adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983: Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

Jadi, ditegaskan dalam keputusan tersebut, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila yang lain. Itu artinya, sila pertama menduduki posisi terpenting. Dan sila itu mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

Makna Tauhid pada dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga dijelaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq dalam makalahnya “Hubungan Agama dan Pancasila”. Makalah itu dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985.

KH Achmad Siddiq menulis: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”

Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada  pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.”  (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224).

Di Majalah Panji Masyarakat edisi No 216, (1 Februari 1977), Buya Hamka menulis artikel  berjudul “Ketahanan Ideologi Mutlak Ditingkatkan”. Menurut Buya Hamka, bagi orang muslim, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tiang Agung dari Pancasila, Urat Tunggang dari Pancasila. “Kalau sila pertama ini runtuh, gugur hancurlah keempat sila yang lain,” tulis Buya Hamka.

Kita simak kembali rumusan Pembukaan UUD 1945: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Dengan pikiran sederhana saja, kita bisa memahami, bahwa makna “dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti “berdasar kepada Tauhid”. Sebab, makna Ketuhanan Yang Maha Esa, memang mencerminkan Tauhid dalam ajaran Islam. Inilah kecerdikan dan kebijakan para pendiri bangsa.

Karena itu, sebagaimana dirumuskan juga dalam Munas Alim Ulama tahun 1983, Pancasila bukanlah agama, dan tidak bisa digunakan untuk menggantikan agama. Maka, tepatlah yang dikatakan penulis Kristen, I.J. Satyabudi dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah: “Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu”!”

Siapa yang dimaksud dengan Bapak-bapak Islam? Tentulah itu Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, dan sebagainya. Wallaahu A’lam bish-shawab.

(Depok, 23 Juni 2020)

Share Artikel: