Agustinus Edy Kristianto: Gibran mewakili cermin generasi Milenial rasa Kolonial


Gibran adalah contoh cita rasa ‘sukses’ generasi milenial. Bersama saudara ipar dan anak sejumlah pejabat teras negara ini yang juga direkomendasikan maju Pilkada 2020, ia mengajari bangsa ini bahwa ‘hak istimewa’ karena pertalian darah atau kerabat dalam politik Indonesia itu tetap ada, meskipun konon kita sudah memasuki era revolusi 4.0 dan demokrasi modern.

Bersama beberapa keturunan taipan/konglomerat yang menduduki posisi staf khusus presiden, kita ditunjukkan bukti bahwa jabatan publik dengan gaji dan fasilitas negara ‘bisa diwariskan’.

Jika Jokowi jadi presiden berarti anak-cucu kita akan menonton keturunan Jokowi—mungkin—jadi presiden juga. Ya, hanya menonton. Kelak.

Mereka memang tidak bisa memilih dilahirkan dari siapa. Itu sesuatu yang di luar kontrol manusia. Terberi dari Tuhan. Kita tidak berdebat di area situ. Anak presiden maupun anak jin sekalipun selama warga negara boleh jadi pejabat—secara hukum.

Kita menilai sesuatu dari konsistensi sikap dan apa gagasan yang dimunculkan demi kebaikan umum. Kita tidak menghakimi personal. Kita menghakimi perannya dalam jabatan publik.

Memulai dari dunia bisnis start-up di bidang permartabakan, minuman tradisional, tenaga kerja online, lalu menggalang pendanaan venture capital untuk pengembangan usaha, Gibran mewakili cermin generasi milenial rasa kolonial. Generasi lidah tak bertulang. Generasi 10-1 (10 yang diucapkan, kemungkinan 1 yang benar).

Cermati saja ocehannya di media massa setidaknya 10 tahun terakhir, selama bapaknya menjadi wali kota, gubernur ibu kota, petugas partai, hingga presiden. Berita media dibuatnya seolah air mengalir saja yang ditulis lalu tidak perlu diingat-ingat lagi jejaknya.

Sekali waktu ketusnya bukan main terhadap politik, lain waktu bilang tertarik karena ingin membantu lebih banyak orang. Pengusaha cuma bisa membantu sebatas karyawan dan keluarga, pejabat publik membantu lebih banyak rakyat. Teh manis sekali.

Sekali peristiwa berkata ketekunan dalam bisnis, lain peristiwa berucap dengan pongahnya mencari uang itu urusan 10 tahun lalu lah, sekarang sudah beda, saatnya membantu rakyat.

Suatu saat berujar politik bukan dunianya, sebab pendidikannya adalah manajemen; lain saat berujar tertarik politik tapi kemungkinan 20 tahun lagi.

Dia belajar betul dari sang bapak tentang celah kekurangan masyarakat dalam hal pembentukan citra/persepsi. Ditambah akses dan promosi gratis karena jabatan kepresidenan sang bapak, dia melintas dengan mulus di jalan sembari ‘memainkan’ emosi masyarakat untuk meraih simpati.

Dari sisi konsistensi, dia merintis karier politiknya dengan angka minus. Dia tidak konsisten dengan apa yang dia mulai. Dia tidak membuat gebrakan besar dalam dunia martabak, minuman tradisional... Dia tidak berbuat banyak dalam dunia digital... Dia tidak memberikan warna beda terhadap perkembangan sebuah generasi baru.

Kita tidak mendengar apa-apa mengenai gagasannya terhadap kehidupan berbangsa—bahkan konsep kehidupan sebuah kota; misinya dalam dunia politik yang membedakannya dengan generasi lama; visi jauhnya terhadap penderitaan rakyat dan bagaimana seharusnya keadilan didistribusikan.

Di balik sikap dan bahasa tubuhnya yang ketus, kita mungkin bisa menduga tidak ada sesuatu yang bernas di dalamnya. Standar saja.

Tapi sejauh ini dia berhasil menunjukkan diri sebagai petugas partai yang baik. Partai dapat apa, saya dapat apa.

Dia cikal bakal politisi ‘sejati’ yang siap-siap saja kita akan dijanjikan jembatan meskipun tidak ada sungai/laut yang perlu dihubungkan.

Begitu saja.

Dia hanya baru menunjukkan, jika ingin moncer langsung dalam politik nasional, syarat utamanya satu: jadi anak presiden.

(By Agustinus Edy Kristianto)

*sumber: fb
Gibran adalah contoh cita rasa ‘sukses’ generasi milenial. Bersama saudara ipar dan anak sejumlah pejabat teras negara...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Sabtu, 18 Juli 2020
Share Artikel: