Kebiasaan Pemerintah Pakai Influencer Dianggap Ciptakan Realitas Semu
[PORTAL-ISLAM] Dosen komunikasi politik Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai kebiasaan pemerintah menggunakan jasa influencer berbahaya karena bisa menciptakan kesadaran palsu. Hal ini disampaikan Adi menyangkut dugaan digunakannya para pesohor dan artis untuk mengampanyekan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja baru-baru ini.
"Yang terjadi adalah realitas semu, karena dukungan yang diciptakan adalah dukungan yang dimobilisir dan memanipulasi kesadaran publik," kata Adi ketika dihubungi, Ahad, 16 Agustus 2020.
Menurut Adi, yang akan muncul dari kampanye oleh para influencer maupun pendengung (buzzer) justru persepsi politik yang cenderung dipaksakan karena tak sesuai kenyataan. Padahal, ujar dia, banyak publik yang justru menolak RUU Cipta Kerja.
"Publik enggak mendukung, jangan dipaksa dan dikesankan mendukung. Dan jangan menghamburkan duit negara untuk sesuatu yang tidak terlampau penting," ucap Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini.
Kampanye mendukung RUU Cipta Kerja oleh para pesohor ini dilakukan dengan tagar #IndonesiaButuhKerja lewat media sosial. Musikus Ardhito Pramono mengaku mendapat Rp 10 juta untuk setiap unggahan.
Beberapa pesohor belakangan mengaku tak mengetahui kampanye yang mereka publikasikan ternyata terkait dengan RUU Cipta Kerja. Ardhito Pramono, misalnya, mengaku merasa ditipu. Ardhito dan sejumlah pesohor mengaku mengembalikan uang honor yang mereka terima.
Soal tudingan ke Istana menggalang kampanye terkait omnibus law, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan mengatakan tak mengetahui adanya kerja sama semacam itu.
"Kami enggak tahu tentang hal itu. Mungkin ditelusuri dari influencer-nya aja. Tidak pernah ada pembahasan atau obrolan tentang hal itu di kami," ujar Abetnego saat dihubungi Jumat malam, 14 Agustus 2020.
Sumber : Tempo