REZIM BUZZER BIN INFLUENCER


Oleh: Agustinus Edy Kristianto

Nanti siang ICW konferensi pers. Temanya: “Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?”

Konteksnya kejadian beberapa hari lalu ketika beberapa ‘artis’ bin influencer serempak mengunggah #IndonesiaButuhKerja.

Mudah dibaca. Di balik itu tersirat penggalangan opini untuk mendukung omnibus law RUU Cipta Kerja yang ditentang banyak orang.

ICW berpendapat fungsi kehumasan untuk menyampaikan kebijakan pemerintah seharusnya dilakukan oleh kementerian/lembaga negara bukan oleh influencer. Apalagi tarifnya bikin celeguk: Rp5-10 juta/posting. Demikian kata berita beredar.

Betul bidikan ICW. Dari mana anggarannya?

Tapi cermatlah sejenak. Bisa jadi tidak ada anggaran formal APBN yang tercantum. Tapi tembok bisa mendengar. Mungkin saja dari para rekanan swasta yang berkepentingan dengan RUU itu. Praktik ijon sudah biasa di sini. Apa susahnya keluar uang ‘sedikit’ demi pengamanan regulasi.

Soal lain adalah substansinya. Apa salahnya memakai jasa influencer?

Bagi saya tugas kehumasan, konsultan komunikasi, influencer media sosial dan sejenisnya sah-sah saja sebagai pekerjaan. Kita tidak menyerang personal, tidak menyalahkan organisasi profesi, tidak menyalahkan caranya mencari nafkah.

Masalahnya apa yang diutarakan. Sepanjang kebohongan dan kesesatan yang dibawa, itu amoral dan pidana!

Perlu tegas dikatakan #IndonesiaButuhKerja merusak nalar dan diskursus sehat negara ini tentang sebuah proses legislasi. Menjauhkan dari substansi masalah, menggiring ke arah haha-hihi belaka untuk soal sepenting sistem ketenagakerjaan nasional dan investasi.

Tapi Presiden Jokowi, suka atau tidak suka, juga produk kehumasan. Banyak cara dan teknik membentuk persepsi publik. Content, context, momentum dan sejenisnya banyak yang ahli untuk menjelaskan. Apalagi kalau hanya untuk mendapuknya jadi penerima penghargaan antikorupsi untuk kemudian mengangkat panitianya menjadi menteri koperasi di kemudian hari.

Problemnya sekarang adalah kecenderungan persepsi jauh dari fakta. Nyatanya kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi banyak yang tidak sebaik dan segorong-gorong saat kampanye. Contohnya: Kartu Prakerja.

Persepsi ‘orang baik berkumpul dengan orang baik’ dan ‘kalau orang sederhana bisa jadi presiden maka anak kita juga bisa jadi presiden’ nampaknya menampar angin. Pada akhirnya ia tidak memihak rakyat kecil juga.

Apa buktinya?

Ternyata sumber daya alam batu bara yang estimasi keuntungannya menurut IRESS Rp28 triliun/tahun dengan asumsi produksi 210 juta ton/tahun bakal terus dikuasai segelintir konglomerat yang bercokol dari dulu.

7 perusahaan sedang menanti perpanjangan kontrak (IUPK). Yang terdekat adalah Arutmin seluas 57.107 hektare (habis November 2020)—-kepunyaan Grup Bakrie. Pun Adaro (Oktober 2022) seluas 31.380 hektare. Garibaldi Thohir menguasai 6,18% sahamnya. Adiknya adalah Menteri BUMN.

Kita akan lihat kepiawaian humas bin influencer macam apa yang akan mendengungkan ‘kebaikan-kebaikan’ sembari mengalihkan hujan kritik terhadap simulasi situasi ini: jika kontrak diperpanjang (IUPK) maka jatuh ke kakak, jika sebaliknya maka jatuh ke BUMN (aturan dalam undang-undangnya begitu) yang dipimpin sang adik.

Tak hanya itu. Mengangkat wamen BUMN yang juga bekas direktur bank pelat merah yang langganan menjadi kreditur perusahaan sang kakak sebagai ketua gugus tugas pemulihan ekonomi yang diserahi wewenang penyaluran uang Rp150-an triliun untuk swasta adalah ‘prestasi’ tersendiri.

Banyak yang sudah tahu arahnya: habis omnibus law Cipta Kerja, terbitlah batu bara dan rombongannya. Peningkatan modal korporasi bisa diolah-olah dari kucuran duit negara.

Mengapa orang baik yang sampai terjun ke gorong-gorong tidak melakukan kebijakan afirmatif untuk memutus rantai penguasaan sumber daya alam negara ini oleh tangan segelintir orang/kelompok?

Mengapa memilih formasi pejabat yang justru membawa pada situasi sarat konflik kepentingan macam itu untuk komoditas sestrategis batu bara dan momentum pemulihan ekonomi akibat COVID-19?

Betul kata riset Credit Suisse (2019): 1% orang superkaya Indonesia menguasai 45% kekayaan negara. Dan Presiden bisa jadi sepakat diam-diam bahwa itu harus dilestarikan.

Moral cerita adalah sebetulnya bisa jadi rakyat biasa jauh lebih dewasa dari pejabat negara dalam hal substansi komunikasi. Rakyat tidak bicara orang tapi pemerintah menyodorkan orang/sosok untuk membungkus kebijakan yang tidak adil dan keliru.

Menggaet influencer ‘artis’ yang mengaku sendiri tidak tahu apa-apa tentang substansi kebijakan yang di-posting dan membayarnya Rp10 juta untuk mengalihkan perhatian dari masalah sesungguhnya adalah dugaan keras bahwa memang kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah adalah buruk.

Itu yang harus diperbaiki bukan mengemasnya menggunakan bedak pesohor.

Nanti siang ICW konferensi pers. Temanya: “Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?” Konteksnya kejadian...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Rabu, 19 Agustus 2020
Share Artikel: