Jokowi Perlahan-Lahan Membawa Indonesia Menuju Negara Plutokrasi?
[PORTAL-ISLAM] Pada 22 Desember 2020 Presiden Joko Widodo melantik enam menteri baru hasil kocok ulang kabinet. Di antara menteri yang dilantik adalah Muhammad Lutfi, Wahyu Sakti Trenggono, dan Sandiaga Salahuddin Uno. Dengan ditunjuknya ketiga orang itu sebagai anggota kabinet, jajaran pemerintahan Jokowi makin erat dengan pengusaha kelas kakap.
Muhammad Lutfi pernah menjabat posisi yang sama di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tiga bulan sebelum dilantik Jokowi, Lutfi adalah duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Dia juga pernah menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kekayaannya, berdasarkan laporan LHKPN, mencapai Rp187 miliar. Jauh sebelumnya, Lutfi juga tergabung sebagai anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).
Nama Wahyu Sakti Trenggono sempat ramai pada Pilpres 2019 karena dia menjabat Bendahara Umum tim sukses Jokowi-Ma’ruf Amin. Pria yang kerap disapa Treng ini punya kekayaan hingga Rp1,9 triliun. Harta ini ia dapatkan karena atas kesuksesannya sebagai pengusaha menara telekomunikasi. Dia juga salah satu inisiator Asosiasi Penyedia Infrastruktur Menara Telekomunikasi (ASPIMTEL).
Ketika maju ke bursa Pilpres 2019, Sandiaga Uno memutuskan melepas sahamnya di PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. Dia diperkirakan meraup keuntungan penjualan saham sebesar Rp64,19 miliar. Namun sebagai pengusaha, Sandiaga sebenarnya punya harta lebih banyak lagi yakni sebesar Rp5,09 triliun. Catatan ini sekaligus membuat Sandiaga menjadi menteri terkaya dalam kabinet Jokowi.
Di bawah Sandiaga ada Menteri BUMN Erick Thohir yang kekayaannya mencapai Rp2,3 triliun. Dalam satu kesempatan, Erick pernah berfoto bersama Lutfi dan Sandiaga semasa muda di Amerika Serikat. Kini mereka semua sudah masuk dalam jajaran orang berpengaruh di Indonesia dan sebagai pengusaha mereka sama-sama berada dalam pemerintahan Jokowi.
Kapok dengan Partai dan Korupsi?
Di masa kepresidenan Joko Widodo yang pertama, hanya dua menteri yang tertangkap korupsi sepanjang lima tahun, yaitu Idrus Marham dan Imam Nahrawi.
Idrus adalah menteri hasil reshuffle. Dia hanya menjabat sebentar sebagai Menteri Sosial dari Partai Golkar. Idrus kemudian harus mendekam di penjara karena korupsi kasus Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Sedangkan Imam Nahrawi tergencet kasus suap pencairan dana hibah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan gratifikasi selama menjabat. Suap yang diterima Imam tidak kurang dari Rp11,5 miliar dan dia harus mendekam di penjara selama 7 tahun dengan denda Rp400 juta.
Menjelang Pilpres 2019, Jokowi berulang kali menegaskan pemerintahannya tidak ada beban lagi di periode kedua. Bahkan sebelum pembentukan kabinet Jokowi jilid II, publik ramai oleh kabinet zaken yang mungkin dibentuk. Intinya, posisi menteri diisi oleh orang-orang yang sesuai dengan keahlian di bidangnya, tanpa menilik latar belakang sebagai perwakilan partai. Nyatanya hal itu mustahil dilakukan.
Saat Kabinet Indonesia Maju selesai dibentuk, sebanyak 16 menteri berasal dari partai sedangkan 18 menteri dari kalangan profesional non-partai. Jika dibuat komposisi, maka 47% bagi pejabat partai dan 53% untuk kalangan profesional.
Baru setahun lebih sedikit, dua orang menteri Jokowi tertangkap KPK. Pertama adalah Menteri Sosial Juliari Batubara terkait dugaan korupsi dana bantuan sosial pandemi COVID-19. Kedua, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo juga ditangkap KPK karena dugaan korupsi ekspor benih lobster.
Kesamaan keempat menteri Jokowi yang ditangkap KPK: semuanya berasal dari partai politik. Juliari dan Edhy yang belakangan ditangkap adalah anggota PDIP dan Partai Gerindra.
Dalam buku panduan Sistem Integritas Partai Politik (PDF) yang disusun KPK bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), partai politik punya beberapa masalah integritas yang membuatnya rentan menjadi penyalur koruptor di pemerintahan. Dua hal di antaranya adalah masalah rekrutmen dan kaderisasi anggota serta pendanaan partai politik.
Rekrutmen partai politik selama ini cenderung tertutup dan sarat akan nepotisme. Mereka yang direkrut dan menempati jabatan strategis partai—yang kemudian disalurkan ke pemerintahan—kebanyakan berasal dari kalangan keluarga atau kerabat yang punya kedekatan politik dengan elite partai.
Sedangkan pendanaan partai didapat kebanyakan dari tiga jalur. Pertama, iuran anggota; kedua, subsidi dari pemerintah; dan ketiga adalah sumbangan pribadi. Persoalan-persoalan ini mendorong pada perilaku korup petugas partai ketika menjabat di pemerintahan nantinya.
Agil Oktaryal dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Proborini Hastuti dari UIN Sunan Kalijaga, yang menulis penelitian berjudul “Desain Penegakan Hukum Korupsi dan Partai Politik di Indonesia” (2020), mengatakan partai politik sebenarnya adalah salah satu sumber korupsi di Indonesia.
Melalui rekrutmen politik, parpol menjadi sarana penyaluran orang-orang di pemerintahan. Dengan alur tersebut, parpol akan menempatkan orang-orang yang memuluskan kepentingan parpol di pemerintahan. Orang-orang tersebut, jika nantinya melakukan korupsi, seharusnya juga menjadi tanggung jawab parpol. Agil dan Proborini menganggap uang korupsi itu sangat mungkin mengalir kepada parpol yang telah memuluskan jalan koruptor mendapat kedudukan strategis.
Masalahnya, satu hal yang paling susah adalah membuktikan aliran dana dari koruptor kepada parpol terkait.
“Saat partai politik dipandang sebagai korporasi, ini memungkinkan partai dapat dijerat dengan hukum tindak pidana korupsi jika terlibat korupsi,” jelas Proborini dalam webinar yang diselenggarakan KPK pada 17 November 2020.
Setelah Juliari dan Edhy tertangkap, Jokowi mengubah pandangannya. Pertama, dia tidak memberikan kursi menteri begitu saja kepada partai politik. PDIP tetap jadi anak emas dengan pengalihan kursi Juliari kepada Tri Rismaharini.
Tapi posisi Menteri KKP tidak begitu saja diberikan kepada Partai Gerindra. Yang menggantikan Edhy adalah Wahyu Sakti Trenggono, mantan Wakil Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Sandiaga Uno mendapat posisi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kendati dahulu Sandiaga merupakan kader Partai Gerindra, kali ini dia adalah seorang independen.
Setidaknya, komposisi menteri di kabinet Jokowi kembali berubah: 15 orang pejabat partai dan 19 dari kalangan profesional non-partai. Dan satu lagi yang ikut bertambah: jajaran pengusaha di kabinet Jokowi.
Mengarah ke Plutokrasi-Oligarki
Keputusan Jokowi yang melantik para pengusaha sebagai menteri sebenarnya tidak mengherankan jika menilik fokus pemerintahannya dalam empat tahun ke depan, yakni membuka keran investasi seluas-luasnya.
Masalahnya, ketika para pengusaha banyak memegang posisi penting di eksekutif dan legislatif, ada potensi ancaman yang besar terhadap demokrasi. Martin Gilens dan Benjamin I. Page dalam tulisan berjudul "Testing Theories of American Politics: Elites, Interest Groups, and Average Citizens" (2014) menemukan bahwa pembuatan kebijakan di Amerika Serikat banyak ditentukan oleh kelompok tertentu yang punya kepentingan bisnis dan elite ekonomi.
Hasilnya, kelompok kelas menengah ke bawah menjadi kaum termajinalkan. Mereka hanya punya pengaruh kecil atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali dalam pembuatan kebijakan. Padahal, mereka yang berjumlah lebih banyak seharusnya punya kepentingan besar untuk diperjuangkan pemerintah.
“Klaim Amerika sebagai negara demokrasi benar-benar terancam,” catat Gilens dan Page.
Situasi tersebut, dalam istilah ilmu politik, menjurus kepada negara plutokrasi. Mudahnya, plutokrasi adalah sistem di mana pemerintahan dikuasai sekelompok konglomerat. Menurut David C. Korten, bekas guru besar di Harvard Business School, plutokrasi mengembangkan sistem ekonomi yang hanya membuat para pengusaha-penguasa semakin kaya. Kebijakan ekonomi ditentukan berdasar investasi yang dianggap menjanjikan oleh kalangan mereka sendiri.
Dalam konteks Indonesia, keberpihakan kepada elite ekonomi ini bisa dilihat ketika pemerintah dan DPR bersikeras mengesahkan RUU Cipta Kerja. Kendati diprotes oleh serikat buruh dan banyak kesalahan teknis di dalamnya, pemerintah dan DPR tetap mengesahkan aturan yang dianggap merugikan kaum pekerja tersebut.
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute Made Supriatma menilai dengan masuknya barisan pengusaha di kabinet Jokowi, maka perubahan Indonesia ke arah plutokrasi semakin terlihat.
"Kalau orang lain mengatakan normal, saya mengatakan ini [kian banyaknya pengusaha dalam kabinet Jokowi] tidak normal. Ini plutokrasi dalam pengertian yang paling telanjang,” kata Made dalam diskusi daring “Crazy Rich Masuk Kabinet: Membaca Politik Plutokrasi Era Jokowi”, Minggu (27/12/2020). [tirto]