Akhlak Terhadap Ulama: Berbeda Boleh, Tapi Memuliakan Wajib

 kecuali dia memiliki pendapat yang dianggap lemah atau  Akhlak Terhadap Ulama: Berbeda Boleh, Tapi Memuliakan Wajib
Berbeda Boleh, Tapi Memuliakan Wajib

Hampir tidak ada seorang alim pun, kecuali dia memiliki pendapat yang dianggap lemah atau 'nyleneh' oleh alim yang lain. Hampir tidak ada seorang alim pun, kecuali akan ada alim lain yang mengkritisi sebagian pendapatnya. Seperti ini hal yang sangat biasa dalam dunia akademis. Asal kritikan tersebut disampaikan dengan baik, ilmiyyah, beradab, serta tetap memuliakan pihak yang dikritik, maka boleh-boleh saja.

Tak luput dalam hal ini, Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi. Beliau memiliki beberapa pendapat yang dianggap lemah atau 'nyleneh' oleh sebagian ulama. Beliau juga dikritik dalam beberapa perkara. Namun, beliau tetaplah ulama yang wajib untuk dimuliakan. Kita boleh tidak setuju dengan sebagian pendapat beliau, namun kita tetap wajib menghormati beliau sebagai "pewarisnya para nabi". Ingat, ya, daging ulama itu beracun.

Sekelas Syekh Allamah Abdullah Bin Bayyah saja sangat memuliakan beliau. Itu terlihat saat beliau menghadiahkan sebuah buku karangan beliau kepada Syekh Al-Qardhawi (lihat gambar atas), beliau menulis di halaman depannya: "Hadiah untuk syaikhina (guru kami), ustad kami, imam, allamah (yang sangat berilmu), syekh, doktor Yusuf Al-Qardhawi, semoga Allah menjaga dan memuliakannya."

Dalam paragraf ini, Syekh Abdullah bin Bayyah menyebutkan enam gelar kehormatan untuk Syekh Al-Qardhawi. Padahal sangat mungkin di antara keduanya memiliki perbedaan pendapat dalam beberapa masalah. Karena perbedaan pendapat tidaklah melazimkan untuk menghinakan. Ini dua kutub yang berbeda. 

Sikap pemulian ini berlaku tidak hanya kepada Syekh Al-Qardhawi saja, tapi kepada seluruh ulama yang ada, baik yang sudah wafat ataupun masih hidup.

Ini sangat berbeda dengan sikap sebagian kita yang teramat bodoh ini. Saat ada pendapat seorang alim atau ustad yang kita anggap lemah, atau 'nyleneh', atau dikritik oleh alim lain, kita langsung mengambil sikap "waspada". Lalu merendahkannya, menghinakannya, bahkan mentahdzir dan menyesatkannya. Tak jarang seorang murid mencemooh ustadnya sendiri gara-gara hal seperti ini. Sudah tidak mau panggil ustad lagi, tapi langsung panggil nama, kadang malah ditambah gelar hinaan. Na'udzu billah min dzalik!

Imam Burhanuddin Az-Zarnuji (w. 591 H) - rahimahullah - berkata: "Ketahuilah! Sesungguhnya penuntut ilmu tidak akan bisa mendapatkan ilmu dan mengambil manfaat darinya, kecuali dengan memuliakan ilmu dan ahlinya, serta memuliakan dan menghormati ustadnya." (Ta'limul Muta'allim, hlm. 27).

Alangkah jauhnya akhlak kita dengan akhlak para salaf (pendahulu kita)!? Masih tidak malukah kita mengaku paling mengikuti mereka? Semoga tulisan singkat ini menjadi bahan renungan untuk kita sekalian. Amin.

Penimba ilmu syar'i,

(Abdullah Al-Jirani)

Share Artikel: