Kisah Surat Al-Baqarah, Sapi Betina Di Zaman Nabi Musa, Menghidupkan Orang Mati Untuk Mengungkap Siapa Yang Telah Membunuhnya

Baqarah karena mengandung kisah tentang sapi yang Allah perintahkan Bani Israel untuk meny Kisah Surat Al-Baqarah, Sapi Betina Di Zaman Nabi Musa, Menghidupkan Orang Mati Untuk Mengungkap Siapa Yang Telah Membunuhnya
Kisah Al-Baqarah, Sapi Betina Di Zaman Nabi Musa

“Surat ini dinamakan dengan Al-Baqarah karena mengandung kisah tentang sapi yang Allah perintahkan Bani Israel untuk menyembelihnya untuk mengungkap pelaku pembunuhan dengan memukul mayat korban pembunuhan menggunakan bagian dari sapi itu, sehingga dia hidup kembali dan menceritakan siapa yang membunuhnya." 

(Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, [Beirut: Darul Fikr, 2009],  juz I, hal. 75.).

------------

Singkatnya, tersebutlah di kalangan Bani Israil seorang kaya raya. Dia mempunyai saudara sepupu yang fakir. Tidak ada ahli waris selain dirinya. Ketika orang kaya tersebut tidak lekas mati, maka saudara sepupu ini membunuhnya agar dia dapat mewarisi hartanya. Lalu dia membawa mayat saudaranya ke desa lain lalu melemparkan di pelataran desa. Kemudian dia berlagak hendak menuntut balas. Dia bersama orang-orang mendatangi Nabi Musa ‘alaihis salam lalu mereka memohon kepada Nabi Musa agar berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya diberi keterangan mengenai pembunuh orang tersebut.

Kemudian Nabi Musa memerintahkan mereka agar menyembelih sapi dengan berkata kepada mereka,

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina”. Mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” (QS. Al-Baqarah: 67)

Maksudnya, apakah engkau mengejek kami, padahal kami bertanya kepadamu mengenai orang yang terbunuh, dan engkau justru memerintahkan kami agar menyembelih sapi.

Lantas Nabi Musa menjawab:

أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Baqarah: 67)

Maksudnya, termasuk orang-orang yang mengejek kaum mukmin.

Ketika orang-orang mengetahui bahwa menyembelih sapi merupakan rencana dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka mereka menanyakan ciri-ciri sapi tersebut kepada Nabi Musa. Lalu Allah menyebutkan ciri-ciri sapi yang harus mereka sembelih.

Ternyata di balik hal tersebut ada hikmah besar, yaitu bahwa di kalangan Bani Israil terdapat orang saleh. Dia mempunyai anak laki-laki yang masih kecil dan dia mempunyai anak sapi betina. Dia membawa anak sapi tersebut ke dalam hutan dan berkata, “Ya Allah! Saya menitipkan anak sapi ini kepada-Mu untuk anakku kelak jika dia dewasa.”

Selanjutnya orang saleh ini meninggal dunia, sehingga anak sapi ini masih di hutan sampai bertahun-tahun. Anak sapi itu berlari setiap kali dilihat oleh orang. Ketika anak orang saleh tadi telah dewasa, dia menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Dia membagi malamnya menjadi tiga bagian. Dia melaksanakan shalat dalam sepertiga malam, tidur dalam sepertiga malam, dan duduk di samping ibunya dalam sepertiga malam. Di pagi hari dia mencari kayu bakar yang ditaruh di punggungnya, lalu datang ke pasar untuk menjual kayunya sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian dia menyedekahkan sepertiganya, memakan sepertiganya, dan memberikan kepada sang ibu sepertiganya.

Pada suatu hari sang ibu berkata kepadanya, “Sesungguhnya ayahmu telah mewariskan anak sapi betina untukmu yang dia titipkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di hutan ini, maka berangkatlah! Berdoalah kepada Rabb (Tuhannya) Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Nabi Ismail ‘alaihis salam, dan Nabi Ishaq ‘alaihis salam agar mengembalikan anak sapi tersebut kepadamu. Ciri-cirinya, jika engkau melihatnya, kamu membayangkan seakan-akan sinar matahari memancar dari kulitnya. Dia diberi nama ‘Al-Mudzahhabah’ karena keindahan dan kejernihannya.”

Kemudian anak tersebut memasuki hutan, lalu dia melihat anak sapi sedang merumput, lantas dia memanggilnya dengan mengatakan, “Saya bermaksud kepadamu dengan menyebut nama Rabb Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Nabi Ismail ‘alaihis salam, dan Nabi Ishaq ‘alaihis salam.” Kontan sapi itu menengok ke arahnya dan berjalan mendekatinya sehingga sapi tersebut berdiri di hadapannya. Dia lalu memegang lehernya dan menuntunnya.

Dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, tiba-tiba sapi tersebut bicara, “Wahai anak yang berbakti kepada kedua orang tua! Tunggangilah aku, karena hal itu lebih meringankanmu.’

Anak tersebut berkata, “Sesungguhnya ibuku tidak memerintahkanku melakukan hal itu. Akan tetapi, beliau berkata ‘peganglah lehernya.’”

Sapi itu berkata, “Demi Rabb Bani Israil, jika engkau menunggangiku, niscaya kamu tidak dapat menguasaiku untuk selamanya. Ayo berangkat! Sungguh, jika engkau memerintahkan gunung melepaskan diri dari pangkalnya dan berjalan bersamamu, niscaya ia melakukannya lantaran baktimu kepada ibumu.”

Lantas pemuda tersebut berjalan bersama sapi menemui ibunya. Sang ibu berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau orang fakir. Engkau tidak memiliki harta. Engkau kerepotan mencari kayu bakar di siang hari dan melakukan qiyamul lail di malam hari. Oleh karena itu, pergilah. Jual sapi ini!”

Si anak bertanya, “Saya jual dengan harga berapa?”

Ibunya menjawab, “Tiga dinar (emas). Engkau jangan menjual tanpa pertimbanganku.” Harga sapi telah dipatok tiga dinar. Sang anak pun berangkat ke pasar.

Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat agar dia melihat makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya sekaligus untuk menguji pemuda tersebut bagaimana baktinya kepada ibunya. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui hal tersebut.

Sang malaikat bertanya, “Kamu jual sapi ini dengan harga berapa?”

Dia menjawab, “Tiga dinar. Dengan catatan ibuku meridainya.”

Lantas malaikat berkata, “Saya beli enam dinar. Tetapi engkau tidak perlu meminta persetujuan ibumu.”

Pemuda itu berkata, “Seandainya engkau memberiku emas seberat sapi ini pun, saya tidak akan mengambilnya melainkan dengan rida ibuku.”

Kemudian dia membawa pulang sapi kepada ibunya dan dia menceritakan tentang harganya.

Lalu sang ibu berkata, “Kembali lagi! Juallah dengan harga enam dinar berdasarkan rida dariku.’

Dia pun berangkat ke pasar dan menemui malaikat (berwujud manusia). Sang malaikat bertanya, “Apakah engkau telah meminta persetujuan ibumu?”

Pemuda itu menjawab, “Beliau menyuruhku agar tidak mengurangi harganya dari enam dinar dengan catatan saya meminta persetujuan ibu.”

Sang malaikat berkata, “Saya akan memberimu dua belas dinar.”

Pemuda itupun menolak, lalu kembali kepada ibunya dan menceritakan hal tersebut kepadanya.

Ibunya berkata, “Sungguh, orang yang mendatangimu adalah malaikat dalam bentuk manusia untuk mengujimu. Jika dia mendatangimu lagi, katakan padanya, ‘Apakah engkau memerintahkan kami untuk menjual sapi ini atau tidak?”

Pemuda itu pun melakukan hal tersebut, lalu malaikat berkata, “Kembalilah kepada ibumu. Dan tolong sampaikan padanya, ‘Biarkanlah sapi ini (jangan dijual dulu). Sungguh Nabi Musa bin Imran ‘alaihis salam akan membelinya dari kalian untuk mengungkap korban pembunuhan seseorang di kalangan kaum Bani Israil. Janganlah engkau menjualnya kecuali dengan kepingan dinar (emas) yang memenuhi kulitnya. Oleh karena itu, tahan dulu sapi ini.’”

Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menakdirkan orang-orang Bani Israil yang menyembelih sapi itu. Mereka terus-menerus menanyakan ciri-ciri sapi tersebut dan ternyata ciri-ciri yang diberikan sesuai dengan ciri-ciri sapi pemuda saleh tersebut. Hal ini merupakan imbalan bagi pemuda tersebut atas baktinya kepada sang ibu sebagai anugerah dan kasih sayang.

Akhirnya mereka pun membeli sapi tersebut dengan emas sepenuh kulit sapi. Lantas mereka menyembelih sapi tersebut kemudian memukulkan bagian dari sapi kepada korban pembunuhan sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala

Selanjutnya orang yang terbunuh bangkit; hidup lagi dengan izin Allah, sedang urat lehernya masih mengalirkan darah. Lalu dia berkata, “Yang membunuh saya adalah fulan.” Kemudian dia jatuh dan mati di tempatnya. Maka, si pembunuh (saudara sepupunya) terhalang mendapat warisan.


Ringkasan kisah di atas disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:440-445 dan Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:165-168.

Share Artikel: