Andai saya Tere Liye
Andai saya Tere Liye
Oleh: Ahmad Rifai Rifan
Dulu, saat sedang bimbang memutuskan menjadi penulis atau engineer, saya kirim pesan ke Tere Liye, yang latar belakangnya adalah akuntan.
Saat itu dijawab, “Saya menulis 1 jam per hari.”
Pikir saya, wah ini keren banget, nulisnya cuma 1 jam aja per hari. 23 jam sisanya bisa untuk aktivitas lainnya.
Akhirnya, jawaban itu turut mempengaruhi keputusan saya menjadi penulis sampai hari ini.
Kini, Tere Liye, mungkin adalah penulis terkaya di Indonesia. Bukunya terlaris, laku jutaan eksemplar. Gak hanya itu, dia mendirikan penerbit sendiri untuk menerbitkan semua karyanya. Gak masuk penerbit lain. Jadi yang ia dapatkan bukan hanya royalty, tetapi 100% profit penerbit, dia kantongi.
Kini, mungkin Tere Liye lah penulis paling popular di Indonesia. Saya datang ke berbagai sekolah, pesantren, kampus, di berbagai daerah, dan saat mereka saya tanya, “Buku siapa yang terakhir kalian baca?” Jawaban mayoritas selalu, “bukunya Tere Liye.”
Andai saya jadi Tere Liye, saya mungkin akan memilih jalur aman, menulis kisah-kisah yang menghibur pembaca tanpa perlu 'mengusik' pihak-pihak tertentu.
Saya akan terus menumpuk royalti dan profit dari novel-novel saya yang laku keras, menikmati popularitas yang sedang moncer-moncernya, dan menikmati jalan-jalan sambil berseminar ke berbagai kota dan negara. Hidup aman dan damai, tanpa perlu melibatkan diri dalam 'polemik'.
Mungkin itu kali yang bikin prestasi saya belum sehebat Tere Liye. Mungkin saya dirasa belum siap dikasih amanah sebesar itu. Saya belum seberani itu dalam bersuara. Saya gak berani berkonflik dengan banyak pihak.
Tapi saya belajar, bahwa menulis adalah memperjuangkan prinsip. Yang belum berani terang-terangan bertarung, bisa memulai dengan soft: menyisipkan kegelisahan itu dalam karya-karya kita.
Dan dalam sejarah, penulis-penulis besar seperti Pramoedya, Hamka, dan penulis besar lain pun, menulis konflik batinnya dan berani menyuarakannya melalui karya-karyanya. (fb)