Muhajir Modern
"Muhajir Modern"
Fenomena pejuang asing itu sudah ada sejak dulu.
Entah dengan sukarela maupun dibayar.
Di masa perang pasca kemerdekaan Indonesia, sejumlah eks tentara Jepang yang enggan pulang dan bersimpati dengan Republik, memilih sukarela berjuang bersama rakyat untuk melawan agresi Belanda.
Indonesia merdeka penuh, mereka memilih jadi WNI, masuk Islam, menikah dan meninggal di sini.
Kalau Prancis dan Inggris memiliki tentara bayaran asing nan elit yang ditugaskan di garis depan. Yaitu Legionaire untuk Perancis dan Gurkha untuk Inggris.
Gurkha sengaja disanjung tinggi, dipuji atau dilebih-lebihkan reputasinya, tujuannya sederhana, agar mau mati duluan di depan orang Inggris.
Di dunia Islam sendiri, setiap medan tempur yang melibatkan umat Islam, terutama yang dizhalimi, pasti menjadi magnet bagi sukarelawan asing.
Misalnya perang Afghan-Soviet, menarik ribuan pemuda Arab hingga ASEAN untuk bergabung ke sana. Meski setelah menang sukarelawan asing malah mendapat resistensi dari faksi lokal.
Tanpa kontrol atau manajemen yang tepat di tengah banyaknya interaksi maupun gesekan, sejumlah orang kemudian menyempal jadi takfiri.
Apalagi yang datang ke sana cuma latihan tanpa dapat rasanya perang karena sudah kadung selesai, dan cuma dapat ribut antar faksi. Segelintir orang ketika pulkam langsung alih profesi jadi distributor petasan bergotri (teroris).
Namun kisah lebih tragis dialami sukarelawan di perang Bosnia dan Chechnya.
Untuk Bosnia yang akhirnya jadi negara sekuler bagi kue kesukuan, kombatan asing pastinya dilepeh. Karena aspirasi politik mereka jauh panggang dari api. Padahal mereka banyak yang mati. Yang hidup pun jadi buronan, plus sudah hilang pula kewarganegaraan asalnya.
Sementara di Chechnya, karena di perang kedua kekuatan Muslim posisi kalah, sukarelawan asing langsung disalahkan oleh geng Kadyrov yang membelot ke Putin. Katanya mereka membawa ajaran Wahabi, lebih berbahaya dari bom-bom Rusia yang meratakan kota Grozny dan membunuh 100 ribu warga sipil.
Siap-siaplah diburu bahkan diracun.
Kalau di Palestina, sepertinya Hamas menolak bantuan pejuang asing, apalagi kalau membawa bendera sendiri. Dulu organisasi yang coba dibikin UbL di Gaza langsung ditumpas, karena dianggap berbahaya buat kestabilan Gaza, terlebih ideologi umum kelompok UbL waktu itu dianggap takfiri.
Akhirnya ke Suriah, baru di sini ada preseden baru treatment pada sukarelawan asing di dunia Islam. Jaulani (Ahmad Sl-Sharaa) menerima mereka dengan tangan terbuka sebagai warga Suriah. Bahkan etnis Uighur/Turkistan sampai dibuatkan pengumuman khusus untuk mendapatkan jaminan pendidikan.
Sebenarnya bukan hal baru juga, kalau kembali ke masa lalu Indonesia, dimana mantan tentara Jepang dan Muhammad Idjon Djanbie yang jadi pahlawan di sini, tapi mungkin dianggap anggota militan di negara asalnya.
(Pega Aji Sitama)