Negara dengan Reputasi Serba-Gagal
Negara dengan Reputasi Serba-Gagal
Oleh: AS Laksana
Foto mereka bertiga ini—Pak Ndhas dan dua mantan—terlihat menakutkan bagi saya. Mereka bersatu dalam momen peluncuran Danantara, badan pengelola investasi yang akan menangani modal sangat besar. “Semua patut bangga,” kata Pak Ndhas. “Dengan total aset lebih dari 900 miliar dolar AS (Rp 14.000 Triliun), Danantara akan jadi dana kekayaan negara terbesar di dunia.”
Saya tidak paham ilmu ekonomi, Pak Ndhas, dan tidak punya pendapat apa pun tentang Danantara dari perspektif itu; saya hanya takut terhadap Danantara sebagai institusi. Pemerintah kita punya reputasi buruk dalam mendirikan dan mengelola institusi. Semakin besar institusi didirikan, semakin besar pula keburukannya. Dan Danantara adalah institusi dengan keuangan sangat besar.
Sejarah berulang, dan begitu pula dengan sejarah pendirian institusi-institusi di negeri ini.
Mari kita mulai dengan BULOG, yang didirikan di masa awal Orde Baru, 1967. Dengan narasi untuk menjamin stabilitas pangan, institusi itu berakhir menjadi sarang permainan politik dan korupsi. Rencana mulianya tenggelam dalam kepentingan segelintir elite yang mengendalikan harga beras dan bahan pokok lainnya. Rakyat tetap sengsara dengan harga yang tidak stabil, sementara segelintir orang menikmati hasil manipulasi pasar.
Lalu, BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh). Institusi ini didirikan pada 1992 dengan alasan untuk melindungi petani dan menjaga stabilitas harga. Ia dipimpin oleh Tommy Soeharto dan diberi hak untuk memonopoli pembelian cengkeh dari petani dan menjualnya ke industri. Keberhasilan BPPC adalah menyengsarakan petani cengkeh, yang harus menjual dengan harga murah ke institusi milik anak presiden itu. Sebagai modal awal, BPPC mendapatkan pinjaman dari Bank Indonesia sebesar US$325 juta, yang setara dengan Rp5,2 triliun dengan kurs sekarang.
Lalu, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), 1997, sebuah proyek penyelamatan bank-bank yang mulai kesulitan likuiditas. Banyak bankir dan pengusaha besar menyalahgunakan dana ini; mereka mengalirkannya ke luar negeri atau ke perusahaan pribadi. Setelah bertahun-tahun, sebagian besar utang BLBI tidak pernah dikembalikan secara penuh ke negara dan beberapa tokoh utama dalam skandal ini tidak pernah benar-benar dihukum setimpal.
Setahun kemudian BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), 1998, setelah Soeharto lengser. Institusi ini memiliki wewenang menangani aset bermasalah yang ditinggalkan oleh bank-bank penerima BLBI serta mencoba memulihkan sektor keuangan nasional, dan berakhir melenceng sebagai lembaga cuci gudang aset negara. Bank-bank besar yang bangkrut disuntik dengan uang negara, lalu aset-asetnya dijual murah. Krisis moneter yang seharusnya bisa menjadi momentum reformasi pada akhirnya justru memperkuat cengkeraman oligarki. Kita gagal lagi dengan institusi.
Dan, tentu saja, ada proyek Hambalang. Pusat pelatihan dan sekolah atlet di era Presiden SBY ini, yang direncanakan dengan anggaran Rp2,5 triliun, berakhir mangkrak akibat kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kerugian negara sebesar Rp706 miliar. Sekarang, yang tersisa dari proyek itu hanyalah bangunan setengah jadi yang ditinggalkan, seperti sisa-sisa peradaban yang gagal total.
Sekarang ada Danantara. Dengan reputasi buruk dan sejarah kegagalan yang selalu berulang, saya khawatir institusi ini hanya akan berakhir dengan korupsi, inefisiensi, dan yang akan diuntungkan lagi-lagi segelintir elite.
Jadi, bagi saya Danantara bukan proyek ekonomi. Ia hanya cara negara ini untuk membuktikan bahwa sejarah memang berulang, dalam kasus Indonesia, itu berarti yang berulang adalah sejarah kegagalannya. Dalam kegagalan itu, kita akan menyaksikan kekuasaan semakin terkonsolidasi, sementara rakyat tetap kering kerontang dan hanya menjadi penonton di pinggir lapangan.
Dengan korupsi yang mengakar, manajemen yang buruk, birokrasi yang lambat dan tidak efisien, dan kurangnya akuntabilitas dan evaluasi, institusi-institusi kita, juga proyek-proyek negara, sejauh ini selalu berakhir sebagai sarang korupsi. Saya khawatir Danantara tidak berbeda dari yang lain-lainnya—ia tetap didirikan dan dikelola oleh orang Indonesia.
Dan, satu lagi, dengan mengelola “keuangan terbesar di dunia”, institusi ini sepertinya memang dibuat untuk kepentingan elite, bukan untuk kepentingan rakyat.