Ketika Saudi dan Ikhwan Berpisah Jalan: Dari Persaudaraan Ideologis ke Pertarungan Kepentingan
Hubungan antara Kerajaan Arab Saudi dan gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) menyimpan pelajaran penting tentang bagaimana ideologi bisa bertahan dalam harmoni—hingga akhirnya ditelan oleh arus kepentingan geopolitik dan tafsir keagamaan yang berbeda.
Buku "Saudi dan Ikhwan: Dari Kemesraan Sampai Perseteruan" karya Taufik Yusuf Njong menguraikan pergeseran relasi yang dramatis ini secara cermat dan kritis.
Awalnya, Saudi dan Ikhwan berada dalam orbit persaudaraan keagamaan. Saat Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwan, bertemu Raja Abdul Aziz pada 1936, ia tidak diizinkan membuka cabang resmi, namun tetap disambut hangat. Sang Raja berkata, “Kita semua adalah Ikhwanul Muslimin.” Kalimat ini menjadi simbol kemesraan ideologis awal yang mengakar pada semangat pan-Islamisme.
Puncak hubungan terjadi di era Raja Faisal (1964–1975), ketika Saudi, yang tengah bersaing dengan pan-Arabisme ala Nasser dan komunisme global, menjadikan para cendekiawan Ikhwan sebagai mitra strategis dalam dakwah dan pendidikan. Para tokoh Ikhwan seperti Muhammad Qutb (adik Sayyid Qutb) menjadi pengajar di universitas-universitas Saudi, bahkan membentuk fondasi kurikulum Islam di sana.
Namun hubungan itu mulai retak usai 1979. Tiga peristiwa besar—Revolusi Iran, pendudukan Masjidil Haram oleh kelompok radikal, dan invasi Soviet ke Afghanistan—mengubah arah kebijakan Saudi. Walau sempat bersatu kembali dalam jihad Afghanistan, perbedaan ideologis antara Wahabisme Saudi dan Islamisme aktivis Ikhwan makin terlihat. Ikhwan mulai berbicara tentang reformasi politik dan keadilan sosial, yang dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan kerajaan.
Pecahnya Perang Teluk pada 1990 menjadi titik balik. Ikhwan mengecam Saudi karena mengundang pasukan asing (AS) ke Tanah Suci. Saudi pun membalas dengan perlahan meminggirkan kader Ikhwan, hingga akhirnya pada 2014 secara resmi melabeli mereka sebagai organisasi teroris.
Njong menulis bahwa konflik ini mencerminkan “ketegangan abadi antara konservatisme negara dan idealisme gerakan.” Di satu sisi, Saudi ingin mempertahankan legitimasi berbasis agama yang stabil; di sisi lain, Ikhwan membawa misi perubahan sosial yang mengandung semangat oposisi terhadap otoritarianisme.
Melalui buku ini, kita diingatkan bahwa ukhuwah Islamiyah tidak selalu bertahan di atas tafsir yang sama. Politik bisa mempertemukan dua kutub ideologi, tetapi bisa juga menjadi jurang yang membelah. Ketika pragmatisme negara bertemu dengan idealisme gerakan, sejarah mencatat bahwa yang kalah bukan hanya hubungan diplomatik, melainkan juga harapan akan persatuan umat.
(Andra Febi)
صحيح، الصورة لحسن البنا مؤسس جماعة الإخوان وهو يقبل يد المؤسس بعد موسم حج 1354هـ/1936م، علماً أن حسن البنا طلب حينها من الملك عبدالعزيز أن يسمح له بفتح مكتب لجماعة الإخوان المسلمين في السعودية، فرد عليه المؤسس (أنا وشعبي كلنا مسلمين، وين تحط جماعتك؟ مالهم مكان، خلهم هناك في مصر) https://t.co/MzaXy9fott
— تاريخ آل سعود Al Saud History (@Alsaud_History) December 23, 2018