@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Kritik KDM, banyak yang menyerang

Tumben banget status saya sampai dikomentari sebanyak ini  Kritik KDM, banyak yang menyerang
Rumail Abbas:

Tumben banget status saya sampai dikomentari sebanyak ini (biasanya soal nasab, hhe ). Sampai-sampai kawan saya juga ikut berkomentar betapa dangkal dan anehnya pemikiran yang terkandung di dalam status ini.

Pertama, status ini disebut sarkas (bukan satire).

Secara akademis, sarkasme adalah bentuk sindiran yang menggunakan ironi untuk mengejek atau meremehkan, dan sering kali tanpa menawarkan solusi. Jadi, keliru jika saya ditagih solusinya, karena saya (sebagai warga yang membayar pajak) hanya menyindir dengan ironi (kalian bisa melihat definisinya di KBBI). Alih-alih, yang mencalonkan diri sebagai gubernur itu Kang Dedi, yang mengelola APBD itu Kang Dedi, dan yang memiliki seluruh sumber daya eksekutif adalah Kang Dedi.

Kedua, sarkasme di status saya memiliki dasar logis dan akademis.

Saya mengkritik potensi kegagalan program dengan cara yang sarkastik (meskipun tidak konstruktif), karena program ini (di samping memakai anggaran negara) hanya nampak "mulia" di permukaan namun secara ilmiah sindiran ini didukung oleh penelitian bahwa program "boot camp militer" seperti ini tidak efektif mengurangi residivisme remaja. Bahkan dapat memperburuk perilaku jika tidak ada pendekatan psikologis yang mendalam.

Ketiga, alangkah baiknya pemimpin (sebagaimana kaidah fikih menjelaskan) meletakkan kebijakan di atas sains. Bukan di atas materai yang dikantongi Kang Dedi dari orang tua para pelajar, karena sejak kapan surat bermaterai bisa menggantikan prinsip "non-derogable rights anak remaja"?

Keempat, sama seperti komedi, sarkasme tidak perlu dijelaskan. Begitupun komedi daerah (seperti Basa Jawa atau Betawi), tidak perlu diterjemahkan. Kalau kedua hal itu dilakukan, nilai dari komedi dan sarkas akan hilang.

Kelima, saya itu sering "nyarkas", namanya juga warga sipil biasa.

Di komentar status ini, ada yang menyindir:
"Jadi harus dikirim ke pesantren, Mas?"
Saya jawab:
"Anak nakal diancam dikirim ke pesantren. Setelah lulus, nakalnya jadi punya dalil, Kiai "

Ini sekaligus jawaban sarkas lain dari pengasuh pesantren yang melakukan pelecehan seksual kepada santri putri atas nama dalil yang melangit dan khoyali.

Sarkas saya yang lain bisa mudah didapatkan. Seperti ketika ada berita BUMN (Pertamina) yang terus-terusan merugi, tapi ternyata berada di puncak klasemen korupsi tertinggi di negeri ini. Mengoplos Pertamax, pula. Kala itu, di X, saya bikin utas begini:

"Mending BUMN (Pertamina) diserahkan ke Mas-Mas Madura yang membuka warung saja. Lembaga yang selalu merugi, tapi ternyata tingkat korupsinya paling tinggi, jika dimanajemen Warung Madura Corps tentu jatuhnya akan berbeda. Karena saya belum pernah dengar Warung Madura merugi. Padahal mereka buka 25 jam sehari. Kecuali kiamat: mereka buka setengah hari."

Tentu ini aneh, bukan solusi, namun menyuguhkan sindiran dengan ironi. Namanya juga sarkas. Sarkas itu menyindir dengan ironi. Dan semua sarkas yang saya produksi itu memang mengulas ironi.

Terakhir, sarkas saya seperti ini selalu diterima di X. Entah, kenapa kurang begitu diterima di Facebook.

(Rumail Abbas)