Contoh sederhana, bahwa politik itu bukan sekadar soal idealisme, ideologi atau madzhab, tapi juga soal kepentingan yang sangat banyak cabangnya, adalah fenomena politik di negeri ini belakangan ini:
1. Dulu yang mengusung Jokowi sejak pilwakot, pilgub hingga pilpres adalah PDIP. Namun, sekitar 2 tahun terakhir, terjadi 'perang dingin' antara dua entitas politik ini.
2. Prabowo pernah sangat mesra dengan Megawati, bahkan berpasangan dalam pilpres 2009, lalu 'bermusuhan secara politik' pada 2014 dan 2019.
3. Anies Baswedan adalah jubir pemenangan Jokowi-JK pada pilpres 2014, lalu dianggap sebagai 'musuh politik' oleh banyak kalangan sejak 2017 hingga sekarang.
4. SBY adalah Menkopolkam di masa Presiden Megawati, lalu 'bermusuhan' secara politik selama 10 tahun kemudian.
5. PKS begitu mesra dengan Anies Baswedan sejak 2017 hingga 2024, lalu pecah kongsi jelang pilgub Jakarta 2024.
6. Anies Baswedan adalah tokoh nasionalis dan demokrat, pernah menjadi rektor Paramadina, universitas yang lekat dengan Nurcholis Madjid, lalu ditahbiskan jadi 'tokoh pemimpin Islamis' oleh sebagian kalangan beberapa tahun kemudian.
Dan banyak contoh lainnya.
Jika anda menilai politik secara 'kaku' dan seakan selalu setia pada nilai, idealisme, ideologi dan madzhab, anda akan pusing sendiri.
Sadarilah, memahami politik, baik nasional maupun internasional, itu lebih sulit dari memahami wanita.
(Ustadz Muhammad Abduh Negara)