@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Tegas Harus, Anarkis Jangan, agar umat Islam tak lagi mudah disulut oleh provokasi yang memang terencana

manipulatif dan hobi merengek ngaku ditindas di media sosial itu memang kudu serius Tegas Harus, Anarkis Jangan, agar umat Islam tak lagi mudah disulut oleh provokasi yang memang terencana
manipulatif dan hobi merengek ngaku ditindas di media sosial itu memang kudu serius Tegas Harus, Anarkis Jangan, agar umat Islam tak lagi mudah disulut oleh provokasi yang memang terencana
manipulatif dan hobi merengek ngaku ditindas di media sosial itu memang kudu serius Tegas Harus, Anarkis Jangan, agar umat Islam tak lagi mudah disulut oleh provokasi yang memang terencana
Tegas Harus, Anarkis Jangan

Oleh: Arif Wibowo

Menyikapi aneka denom rewel, yang sering menerabas aturan, manipulatif dan hobi merengek ngaku ditindas di media sosial itu memang kudu serius, tapi tak perlu sampai emosi, ngotot apalagi anarkis. 

Karena, terlalu rame dan riuhnya rengekan itu pada titik tertentu akan jadi titik lemahnya. Yakni ketika rengekan tidak ditanggapi dengan emosi, tapi diurai dengan dingin dan apa yang terjadi sebenarnya bisa disampaikan ke masyarakat dengan baik. Orang akan menilai, siapa sebenarnya yang diancuk itu. 

Tak perlu paranoid dengan kristenisasi. Perpindahan agama yang paling banyak saat ini adalah karena perkawinan. Jadi titik ini yang harusnya jadi fokus pembinaan umat.

Pemurtadan cara lama, model indomie rebus dengan dua telor itu maraknya saat awal Orde Baru, saat terjadi krisis ekonomi, banyak kemiskinan akut dan konflik politik berdarah abangan ex PKI dengan santri dan negara. Dulu dakwah juga belum sesemarak saat ini.

Selain itu, gereja-gereja Barat di tahun 1970 an juga masih berjaya, duitnya banyak. Sehingga mereka bisa mengalirkan uangnya dengan deras untuk beragam proposal yang diajukan para misionaris dari Indonesia. 

Sekarang ini gereja-gereja di Barat sudah kehilangan tajinya. Bangunannya sudah jadi museum, toko, kelab malam bahkan masjid. Kebaktian yang masih tersisa yang datang hanya dari kalangan lansia. Duitnya juga sudah krisis. 

Dampaknya sampai ke Indonesia juga. Ketika dana dari gereja donor tidak ada ditambah kampanye anti perpuluhan yang marak, maka kata teman saya, biarkan waktu yang akan berbicara.

Ketika saya keluyuran ke sekitar Merapi saat letusannya di tahun 2010 lalu, yang saya temui, lembaga misi itu lembaga donornya kini justru dari Korea Selatan yang menjadi negara Kristen Baru. 

Lalu kenapa ada permintaan gereja baru? Amatan sederhana saya, biasanya itu di daerah perkotaan dimana banyak pendatang luar daerah, yang karena berasal dari banyak daerah berbeda, denom Kristen berbeda, jadi permintaan akan gereja beragam denom juga tinggi. Kalau orangnya, nggak banyak.
Selain itu, ramai juga sebutan predator umat, pencuri jiwa, yakni rebutan jema'at. Jadi ada permintaan gereja baru, karena mungkin sukses merebutnya, tapi ingat, di saat yang sama, ada juga gereja yang kehilangan umat, hampir bangkrut, gerejanya tutup dan bahkan ada yang dijual, seperti di Klaten, gereja dijual dan dibeli umat Islam dijadikan masjid. 

Hal ini dikarenakan, banyaknya aliran dan konflik antar aliran gereja itu kalau kita mengambil pendapat dari Bryan S Turner dalam buku Sosiologi Agama menyebabkan umat itu membeli kebenaran tidak lagi mau borongan hanya dari satu gereja apalagi di era informasi seperti sekarang ini.

Melalui media sosial dan aneka sumber di internet, banyak umat Kristen yang belajar berbagai aliran kekristenan dan kemudian mereka membeli kebenaran secara eceran dari banyak gereja. Akhirmya, kemudian mereka memilih menjadi Kristen spiritualis, Kristen pribadi yang tidak menggereja. 

Hal itulah yang terjadi di masyarakat Barat, dimana akhirnya mereka berbondong-bondong meninggalkan gereja

Jadi, tak perlu ribut sampai melakukan tindak destruktif, sampai merusak bangunan atau semacamnya. Terus tegas dalam bargaining, tapi emosi harus dalam kendali penuh. Sambil jangan lupa, optimalkan gawai, kemampuan menulis dan perkuat jaringan solidaritas umat Islam di media sosial.

Untuk apa?

Karena untuk keagamaan (kristen) yang sudah kadung terpecah menjadi ratusan aliran yang saling berbeda, harus ada kelompok caper yang bisa memancing amarah umat Islam. Ketika ada common enemy (musuh bersama), solidaritas antar pecahan akan muncul, energi berjuang bangkit, spiritualitas naik. Kalau tidak ada musuh bersama? Kisruhnya internal.

Hal-hal seperti inilah yang harus disajikan agar umat Islam tak lagi mudah disulut oleh provokasi yang memang terencana.

(fb)