@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

MENGUAK PELAPOR JUDOL YANG BIKIN BANDAR JEBOL

sistem judi online sehingga merugikan bandarnya memasuki babak baru MENGUAK PELAPOR JUDOL YANG BIKIN BANDAR JEBOL
sistem judi online sehingga merugikan bandarnya memasuki babak baru MENGUAK PELAPOR JUDOL YANG BIKIN BANDAR JEBOL

MENGUAK "PELAPOR" JUDOL YANG BIKIN BANDAR JEBOL

Oleh: Joko Intarto

Drama penangkapan lima pemuda di Bantul, Yogyakarta, yang 'ngakali' sistem judi online sehingga merugikan bandarnya memasuki babak baru. Media mainstream mulai menelusuri siapa ''masyarakat'' yang diklaim polisi sebagai ''pelapor'' kegiatan ilegal itu.

Saya hanya bisa senyum-senyum sendiri membaca judul talkshow yang disiarkan langsung oleh redaksi TV One, tadi pagi: ''Komplotan Pemain Judol Ditangkap, Rugikan Bandar?''

Pada tanggal 3 Agustus yang lalu, saya unggah kasus ini di Facebook. Saat itu, baru akun Instagram @Jogjainfo yang mengunggah. 

Di luar dugaan, banyak pembaca yang menanggapi postingan itu. Hingga saat saya menulis status ini, unggahan tersebut telah direspon 621 pembaca dan dibagikan 926 kali. Di dashboard, status tersebut menjangkau 169,587 pembaca dan telah dilihat sebanyak 345.690 kali.

Media mainstream baru mulai ikut memberitakan dua hari kemudian. Stasiun TV One bahkan baru memberitakan tadi pagi dengan konsep talkshow menghadirkan dua narasumber:

1. Yusuf Warsyim, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)

2. Pratama, pakar telematika.

Dalam pemberitaann TV One, saya sempat mencatat beberapa poin penting, antara lain:

1. Ada lima pemuda di Bantul yang ditangkap polisi karena menjadi pemain judi online. Lima orang itu merupakan satu geng yang terdiri atas satu orang boss (investor) dan empat pemain (player) dengan honor Rp1 juta-Rp1,5 juta per minggu. Untuk memudahkan, kita sebut saja mereka sebagai ''Geng Bantul''.

2. Dalam bermain judi online, Geng Bantul selalu menyasar situs judi online yang sedang menawarkan paket promosi seperti cash back dan bonus, dengan menggunakan aneka akun baru dan gonta-ganti komputer serta handphone agar dikenali sistem judi online sebagai ''user baru''.

3. Sudah menjadi rahasia di kalangan para pemain bahwa sistem judi online telah disetting untuk memberi peluang kemenangan yang besar kepada ''user baru''. Kelak, saat mereka sudah ketagihan, sistem akan ''merampas'' kembali dengan settingan baru yang tidak memberi peluang menang. Agar tidak rugi, Geng Bantul selalu berhenti sebelum bandar mengubah settingan sistem judi online. 

4. Dengan cara mengakali sistem judi online ini, boss alias investor Geng Bantul berhasil memperoleh keuntungan rata-rata hingga Rp50 juta per bulan.  Karena kegiatan mereka telah berjalan kurang lebih setahun, bandar sudah rugi Rp600 juta!

5. Pihak kepolisian menjelaskan bahwa keberhasilannya menangkap Geng Bantul itu berkat adanya ''laporan'' dari masyarakat. Namun polisi tidak menjelaskan siapa identitasnya.

SIAPA ''MASYARAKAT'' ITU?

Pengakuan polisi bahwa mereka menerima laporan aktivitas ilegal Geng Bantul dari masyarakat tentu membuat banyak pihak penasaran. 

Menurut Yusuf, pihak yang layak melaporkan suatu peristiwa pidana harus memenuhi salah satu syarat ini:

1. Menjadi pihak yang mengetahui, atau
2. Menjadi pihak yang mengalami,

Dalam praktik perjudian (offline maupun online) pihak yang melaporkan pasti pihak yang mengalami kerugian. Dalam kaitan ini, pihak yang dirugikan adalah bandar dan agen. Sedangkan pihak yang diuntungkan adalah Geng Bantul.

Saat berjudi, bandar dan pemain bertemu secara online di suatu ''server'' sebagai ''lokasi berjudi'' menggunakan ''platform judi'' sebagai sarana dengan ''sistem judi'' sebagai aturan mainnya melalui ''website judi'' sebagai alamat rumah judinya.

Apakah pihak penjudi yang melaporkan? Rasanya tidak masuk akal. Sebab dari kegiatan itulah para penjudi memperoleh penghasilan rutin selama setahun terakhir.

Kalau pihak penjudi bukan pelapornya, berarti kemungkinan pelapornya tinggal pihak yang satu lagi, yaitu bandarnya sendiri. 

Pertanyaannya, bagaimana cara bandar mengetahuinya?

Secara sederhana, Pratama dalam talkshow itu menggambarkan bahwa website judi online pasti memiliki sistem yang bisa memonitor pergerakan transaksi data user secara ''real time'' dengan basis lokasi negara, alamat email, nomor handphone, merek dan jenis gadget yang digunakan. Dari situlah sistem bisa menganalisis pola transaksi data yang dilakukan geng Bantul.

Monitoring system itu, lanjut Pratama, bukan hal hanya dimiliki para bandar judi. Berbagai lembaga penyedia jasa komunikasi digital pun menggunakannya untuk melayani klien-kliennya dalam pemasaran dan komunikasi. 

Apakah bandar itu yang melapor kepada polisi? Tidak sesederhana itu Ferguso.... Bandar akan melaporkan bahwa ada geng Bantul yang sedang melakukan kegiatan ilegal yakni berjudi online, dengan bantuan kaki tangan, agen dan anak buah agen yang ada di Indonesia. Apalagi, bandar-bandar itu berada di luar negeri.

Pratama yakin, kalau pemerintah serius mau memberantas judi online, kasus di Jogja ini bisa menjadi pintu masuk. Melalui informasi yang diperoleh polisi, akan bisa dilacak, siapa saja yang terlibat dalam bisnis judi online di Indonesia, baik sebagai anak buah agen, sebagai agen maupun sebagai kaki tangan bandar.

Tapi Pratama pesimistis, pemerintah serius memberantas judi online. Sebab, Kemenkominfo sudah tahu alamat server yang digunakan sebagai rumah platform judi online, tetapi yang ditutup hanya akses ke website judi online-nya saja. Sedangkan akses ke server platfortm judi online aman-aman saja.

Masih menurut Pratama, PPATK juga sudah tahu berapa banyak rekening yang digunakan untuk judi online, siapa pemiliknya, apa profesi pemiliknya, tetapi yang ditutup malah rekening dormant milik masyarakat yang tidak tahu apa-apa.

(fb)