Bbm Satu Harga Dagangan Politik & Realita


Oleh: Dandhy Dwi Laksono*

BBM SATU HARGA. Pertama mendengar istilah ini disampaikan pemerintah dan diklaim telah berlaku di Papua, saya terperanjat mengarah ke kagum. Saya membayangkan konsep tata niaganya niscaya jenius hingga menciptakan penjual bensin eceran di hulu Sungai Bian membanderol harga yang sama dengan SPBU di pusat kota Merauke yang berjarak 300-an kilometer. Sama-sama 6.450 per liter.

Lebih menakjubkan lagi alasannya yaitu di tengah kota Ruteng, Flores, saja harga BBM di penjual eceran dibanderol 20.000 rupiah, dalam kemasan botol plastik 1,5 liter. Sungguh sebuah politik keberpihakan yang luar biasa, bila Papua sudah lebih dulu menikmati "BBM Satu Harga" ibarat klaim presiden (dan diberitakan begitu saja oleh media, tanpa perjuangan membedah istilah "Satu Harga").

Sehingga ketika Pastor John Djonga menyatakan harga BBM di Yahukimo kembali ke 30 ribu per liter sesudah presiden tanggapan blusukan, tawuran antara "haters" dan "lovers" pun tak terelakkan.

Padahal yang dimaksud "BBM Satu Harga" yaitu gres konsep atau jargon. Ia yaitu sebuah jadwal atau cita-cita. Bukan (belum menjadi) realitas. Idenya memperbanyak titik distribusi ibarat SPBU Mini dengan kapasitas 5.000 liter atau Agen Penyalur Minyak dan Solar (APMS) di daerah-daerah yang selama ini jauh dari titik distribusi resmi.

Jika sebelumnya di Muara Siberut, Kepulauan Mentawai harganya 14 ribu per liter, sesudah ada SPBU sekarang harganya sama dengan Jakarta. Jika ini yang dimaksud dengan “Satu Harga”, sebelum Joko Widodo menjadi presiden pun mekanismenya sudah ibarat ini. Tak ada yang baru.


Yang jadi duduk kasus adalah, apakah “satu harga” itu terjadi sepanjang pekan? Atau hanya di hari-hari ketika pasokan datang? Di kepulauan Banda Neira, ada SPBU. Tapi kapal pengangkut BBM dikala itu hanya tiba hari Rabu. Kaprikornus harga Banda Neira sama dengan Surabaya hanya di hari Rabu. Itu pun bila Anda membeli bensin di SPBU.

Di hari itu juga, stok SPBU eksklusif tumpas alasannya yaitu orang berbondong-bondong memenuhi kendaraannya. Termasuk para pedagang bensin eceran yang bergotong-royong secara resmi tak boleh dilayani. Tapi realitas di lapangan dan negara kepulauan yang mahaluas ibarat Indonesia tak gampang diselesaikan dengan aturan.

Saya tidak melihat keberadaan penjual bensin eceran secara hitam-putih. Di tempat pedalaman, penjual bensin eceran punya fungsi sosial dan ekonomi sendiri sebagai distributor ke lokasi-lokasi yang tak akan dijangkau Pertamina dan agen-agen penyalurnya, yang kerap berpikir “ekonomis versus tidak ekonomis”, saluran infrastruktur, jumlah penduduk, perputaran uang dan lain-lain. Pendek kata, pertimbangannya harus terukur dan syukur-syukur sekalian titip kepentingan politik konstituen dan elektoral.

Sementara penjual bensin eceran bergerak dengan logika-logika sederhana dalam skala kecil terhadap segmen pasar komunitasnya.

Pertamina mungkin dapat melayani SPBU di Muara Siberut atau Sota di perbatasan Merauke – Papua Nugini. Tapi siapa yang menjangkau dusun Madobag yang jaraknya 4 jam perjalanan sungai ke dalam, atau Muting yang masih 200 kilometer lagi? Bagaimana bahtera kayu pompong dan motor pengangkut hasil kebun di pedalaman dapat berjalan tanpa bensin yang dibawa para pedagang bensin eceran ini?

Lalu mereka tak berhak mendapat margin laba dengan dalih BBM yaitu barang vital non-substitusi yang menyangkut hajat hidup orang banyak?

Di sinilah paradoksnya, rakyat di level bawah tak boleh memperlakukan BBM sebagai komoditas yang harganya diatur di lapangan oleh aturan permintaan dan penawaran, tapi pemerintah sendiri memperlakukan BBM sebagai komoditas pasar dengan rajin mencabuti subsidinya.

Dalam cara pandang ini, semenjak dari nalar pemerintah pun BBM sudah diperlakukan sebagai komoditas. Lalu di mana salahnya bila penjual bensin eceran juga memperlakukan BBM sebagai barang dagangan?


Tentu saja gagasan “BBM (fosil) Satu Harga” harus didukung, dari cara pandang tertentu. Lebih jenius lagi bila berbicara wacana sumber-sumber energi alternatif, konsep tataruang lokal yang hemat energi, atau konsep ekonomi dengan desentralisasi produksi dan distribusi yang tak boros materi bakar dan hemat mobilisasi.

Tapi bila urusan BBM dijajakan sebagai dagangan politik dengan klaim-klaim yang berbusa-busa ibarat “Seluruh Papau dan Papua Barat sudah menikmati BBM satu harga” atau “Tahun 2019, rakyat Indonesia akan menikmati BBM satu harga”, mungkin yang dimaksud satu harga itu yaitu harga BBM yang sama, yakni sama-sama anti-subsidi.

Selamat bekerja, Neo-Liberal.

*Sumber: fb penulis


Share Artikel: