[Catatan] Agresi Umat Islam Guncang Psiko Politik


[PORTAL-ISLAM.ID]  Berapa bekerjsama jumlah akseptor dalam setiap agresi yang digelar umat Islam di Monas?

Mereka yang terlibat langsug dalam penyelenggaraan aksi-aksi itu yakin jumlah mereka jutaan. Sebaliknya, pihak yang mengaku pengamat 'netral' atau kubu yang sinis menyebut angka puluhan ribu, atau paling banter ratusan ribu orang.

Mengapa soal jumlah ini begitu dipersoalkan? Seperti Denny Siregar (Desi) ini yang terus ribut bahwa jumlah massa jutaan itu cuma klaim sepihak akseptor agresi saja. Di statusnya soal agresi bela Palestina, Desi menyebut angkanya di bawah 1 juta orang.

Berbeda dengan beberapa rekan yg menilai diungkit-ungktnya soal jumlah akseptor aksi-aksi umat Islam yg dikemukakan orang  homogen Desi ini sebaga hal 'kurang substansial', saya justru menilai bahwa soal jumlah itu masalah yang substantif secara politis. Mari lihat polanya.

Setiap aksi-aksi akan digelar, selalu ada upaya dari sejumlah pihak, baik pemerintah, pegawanegeri atau kelompok-kelompok pro pemerintah untuk mendelegitimasi aksi-aksi itu. Ada pernyataan bahwa aksi-aksi itu politis, upaya makar, anti kebhinnekaan, bent radikalisme, selebrasi intoleransi, dan sebagainya.

Dalam agresi 212 ada penangkapan sejumlah aktifis pro demokrasi. Ada aneka macam imbauan bahkan tindakan represif pegawanegeri menghadang massa untuk tidak menghadiri aksi. Ada pernyataan-pernyataan tidak mendukung dari sejumlah tokoh yg dikenal bersahabat dgn pemerintah. Pola ini selalu berulang menjelang setiap aksi. Polanya sama dengan tujuan sama, ingin supaya agresi tidak dihadiri massa.

Pada kenyataannya, massa tetap tiba dalam jumlah yang fantastis dibanding aksi-aksi yang pernah ada dalam sejarah gerakan protes atau gerakan sosial di Indonesia. Massa selalu tumpah ruah, membanjiri jalan-jalan sehingga selalu menghasilkan kesan yg sangat dramatik. Lihat saja foto-foto yang beredar di media umum setiap habis satu aksi.

Foto-foto semacam itu menghasilkan efek guncangan psiko-politik yang luar biasa besar bagi publik, tapi terutama bagi rezim yang memerintah dan para kompradornya. Disitulah, untuk meredam dampak psiko-politik dari kehadiran massa yg jumlahnya 
Luar biasa itu, perlu ada upaya-upaya delegitimasi pascaaksi.

Delegitimasi dilakukan dengan bermacam-macam bentuk. Muncul misalnya, upaya menghadapi realitas besarnya kuantitas dengan mengecilkan kualitas massa yg hadir dan adanya penyebutan mereka sebagai hanya 'buih'. Selain itu, serangan sanggup juga dilakukan menyerupai Desi ini, lewat cara terus menerus mempersoalkan "jumlah" kuantitatif dengan menolak "juta" dan menentukan "puluhan atau ratusan ribu".

Karena kita hidup dalam alam demokrasi elektoral nominal, dimana jumlah nominal menjadi penentu kemenangan politik, maka massa yg menyemut dan membanjiri Monas dan sekitarnya itu punya PENGARUH. Hal ini MENAKUTKAN rezim memerintah dan para pendukungnya. Apalagi, dalam masalah Pilkada DKI Jakarta, dampak elektoralnya itu begitu nyata. Wajar, paska setiap agresi itu, orang-orang menyerupai Desi ini mengalami semacam depresi politik.

Patut diingat perihal tesis bandwagon effect dalam politik bahwa orang cenderung menentukan kekuatan yg di persepsi akan memenangkan pertarungan yang dalam demokrasi elektoral nominal, ialah kelompok yg "menang jumlah".

Selama ini, efek itu coba dibangkitkan kubu pro pemerintah dengan merilis bermacam-macam hasil survey yg menampilkan "kemenangan" penguasa sekarang. Namun foto-foto massa yang terus menyemut dalam bermacam-macam agresi di Monas, yg haqqul yakin didominasi massa yang tdk mendukung pemerintah, menciptakan upaya memunculkan ‘bandwagon effect’ melalui survei-surve itu tidak sanggup maksimal sebab orang dihadapkan pada realitas yg muncul secara riil di lapangan.

Publik malah menjadi mencurigai hasil survey sehingga Desi dan orang-orang sejenisnya akan terus bekerja keras menyatakan, "Ah, itu cuma puluhan ribu saja!”

Ke depan, menjelang tahun politik 2019, lembaga-lembaga surveil akan menerima lawan tangguh dalam upayanya memunculkan "ramalan" perihal siapa yg paling BANYAK didukung yaitu penyelenggara aksi2 di Monas, utamanya GNPF Ulama!

Penulis: Ahmad Danial, Pengamat Komunikasi Politik dan Dosen Fakultas Ilmu Dakwah UIN Jakarta.
Judul Asli: Guncangan Psiko-politik dan Aksi Umat Islam di Monas
Share Artikel: