Jelang Pilpres 2019, Inilah Ia Pesaing Terberat Joko Widodo Dan Prabowo


[PORTAL-ISLAM.ID]  Di atas kertas, hampir semua orang hanya menyebut dua nama di arena pemilihan presiden (pilpres) mendatang yakni Joko Widodo versus Prabowo Subianto. Padahal, ada banyak nama lain yang juga pantas dan sempurna untuk memimpin bahtera besar berjulukan Indonesia.

Jika kita melihat dan mengalkulasi nama-nama yang pantas untuk memimpin bangsa ini, maka boleh jadi kita akan berkesimpulan bahwa Jokowi dan Prabowo bukanlah yang terbaik. Ada sejumlah nama hebat yang juga pantas dan sanggup menjadi alternatif dalam memimpin Indonesia.

Melihat tanda-tanda menguatnya politik identitas, maka pesaing Jokowi dan Prabowo sebaiknya berasal dari figur Islami yang sanggup diterima kalangan, serta sanggup menjadi payung bagi keragaman Indonesia. Satu nama yang banyak disebut para pemikir dan praktisi politik ialah figur hebat berjulukan Tuan Guru Bajang, yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).

*

HARI itu, obrolan santai tengah digelar di Istana Wakil Presiden. Di kantin yang sering dijadikan tempat berkumpul awak media dan staf istana, tiba-tiba saja Wapres Jusuf Kalla tiba bergabung. Ia bertanya kepada banyak orang ihwal siapa yang pantas diajukan sebagai pemimpin.

Beberapa nama kemudian disebut. JK selalu menggeleng dan menyebut bahwa masih ada yang lebih baik. Situasi politik belakangan menciptakan JK berhati-hati dalam melihat semua figur. Ia menginginkan ada figur menyerupai dirinya, yang berasal dari tempat lantaran Indonesia dibangun oleh pilar-pilar tempat yang kuat, punya afiliasi keagamaan yang kuat, juga punya banyak prestasi yang lahir dari hasil kerja keras, tanpa banyak gembar-gembor.

JK menginginkan ada figur yang sanggup diterima semua kalangan, sehingga energi bangsa sanggup tercurah untuk membawa bahtera negeri ke arah yang lebih baik. Tiba-tiba saja, seorang jurnalis menyebut nama Tuan Guru Bajang. Berbeda dengan respon sebelumnya, di mana JK pribadi menolak, kali ini ia terdiam. Ia kemudian manggut-manggut. Diskusi berakhir.

Nama KH Zainul Madjdi atau Tuan Guru Bajang belakangan ini santer disebut dalam banyak diskusi. Namanya seharum Jokowi ketika menjadi Walikota Solo yang sarat prestasi. Pada masa Jokowi memimpin Solo, semua tempat merindukan figur menyerupai Jokowi yang membangun karier dari bawah, serta sanggup bicara hal-hal detail. Biarpun belum menuntaskan masa jabatan sebagai walikota, Jokowi kemudian dipinang warga Jakarta untuk menjadi gubernur, sampai alhasil sukses menjadi Presiden RI.

Tuan Guru Bajang juga meniti di jejak yang sama. Ia seorang pemimpin di daerah, yang pada mulanya dipandang sebelah mata. Ia pernah dianggap sebagai “anak ingusan” lantaran menjadi gubernur pada usia 36 tahun. Latar belakangnya bukan dari birokrasi. Pendidikannya pun tak ada kaitan dengan ilmu sosial politik, pemerintahan ataupun ekonomi.

Ia seorang alumnus Universitas Al Azhar yang memperdalam pengetahuan ihwal agama Islam. Pada salah satu kegiatan talkshow di televisi, ia mengaku kesulitan pada masa-masa awal. Ia harus berguru ihwal birokrasi, serta berguru bagaimana mengendalikan banyak orang.

Tapi beberapa tahun sehabis menjabat sebagai gubernur, satu demi satu prestasi berhasil diraihnya. Ia membawa NTB sebagai juara pertama kategori provinsi dengan laju pembangunan MDGs tertinggi. Penghargaan itu diraih semenjak 2011 sampai 2015. Angka kemiskinan turun dari 23,81 persen menjadi 16,54 persen pada tahun 2015. Angka wisatawan berhasil dinaikkannya, yang pada tahun 2008 hanya 600 ribu menjadi 2,4 juta pada tahun 2015.

Ia melaksanakan reposisi konsep wisata menjadi wisata halal dan menyabet penghargaan sebagai World’s Best Halal Tourism Destination di panggung internasional. Melalui reposisi menjadi wisata halal, ia mengukuhkan jati diri NTB sebagai tempat wisata yang tetap tidak kehilangan jari dirinya sebagai masyarakat religius. Ia juga memperkuat komoditas jagung sebagai komoditas andalan di wilayah itu.

Sebagai orang yang bukan berasal dari NTB, saya selalu menyukai kemunculannya di beberapa stasiun televisi. Kalimat-kalimatnya terukur. Ia bukan tipe orang yang mendapat satu pertanyaan, kemudian jawabannya sanggup memutar-mutar dan menyebut banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan. Tuan Guru selalu efektif dalam menjawab pertanyaan. Ia sanggup menjelaskan hal rumit menjadi sederhana, lantaran memahaminya pada tingkatan filosofis.

Saya beberapa kali melihat dirinya yang ditanya ihwal capaian keberhasilan sebagai gubernur. Ia selalu menjawab dengan rendah hati. Dalam satu obrolan di televisi, ia mengakui, satu-satunya modal besar lengan berkuasa yang dimilikinya ialah latar belakang keluarga dan keagamaan yang kuat.

Gelar Tuan Guru di depan namanya ialah simbol dari posisi kultural dan sosial yang kuat. Ia sanggup diterima semua kalangan lantaran mempunyai otoritas pengetahuan keagamaan. Ia pun menyebabkan itu sebagai landasan dalam memahami banyak sekali aspek birokrasi dan pemerintahan.

Diakuinya, legitimasi kultural dalam panggilan Tuan Guru jauh lebih tinggi ketimbang legitimasi sebagai gubernur. “Di tempat saya, seorang Tuan Guru jauh lebih didengarkan ketimbang seorang pejabat yang hendak berkomunikasi dengan masyarakat,” katanya.

Namun, menyandang legitimasi kultural tidak serta-merta menciptakan semua problem menjadi mudah. Kepemimpinan baginya ialah fungsi, bukan struktur. Seseorang yang menjadi gubernur tetap akan berguru dari pendahulunya. Semua profesi mempunyai ruang belajarnya sendiri-sendiri sehingga siapapun sanggup menjadi pribadi unggul melalui proses belajar.

Intelektual Muslim Prof Komaruddin Hidayat menyebut Tuan Guru sebagai seorang pembelajar yang cepat (fast learner). Dalam waktu cepat, ia mempelajari langgam birokrasi, kemudian menyusun langkah-langkah strategis untuk pemerintahannya.

Terhadap siapapun, ia tetap santun dalam memberikan pandangan. Bahkan ketika mengkritik Presiden Jokowi dalam satu acara, ia sanggup menyampaikannya dalam bahasa yang santun dan tidak menyakiti siapapun. Ia pintar menentukan diksi kalimat yang baik sehingga pesan-pesan itu sanggup diterima dengan baik oleh semua kalangan.

Pada titik ini, ia sanggup menjadi pemersatu. Ia sanggup menjadi jalan tengah dari banyak sekali kekuatan yang tengah mencari posisi di panggung kuasa. Jika pilpres ini akan membelah warga kita dalam dua kelompok besar, maka keberadaan Tuan Guru Bajang sanggup mnyatukan banyak sekali elemen kultural anak bangsa dalam satu payung besar keberagaman dan saling menghormati.

Berkat prestasinya, Tuan Guru mendapat apresiasi dari Prof Dr Syekh Abdul Fadhil el Quoshim, guru besar di Al Azhar. “Pemerintahan gubernur Nusa Tenggara Barat sanggup dijadikan pola bagi negara-negara Islam, bahkan dunia, bukan hanya buat Indonesia.”

Penulis: Yusron Darmawan
Share Artikel: