Mengukur Kedahsyatan Gempa Politik Zulhas Effect On Lgbt Issue


[PORTAL-ISLAM.ID]  Pro kontra atas pernyataan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan soal Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) masih terus berlanjut. Seperti sebuah gempa dahsyat, imbas getarannya masih terasa hingga hari ini. Bahkan banyak yang tidak menyadari, efeknya jangka panjang.

Setidaknya ada tiga imbas dari statemen tersebut. Efek jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Pertama, imbas jangka pendek. Yang paling banyak bereaksi yakni kalangan politisi. Mereka beramai-ramai menyatakan partainya menolak LGBT. Ketua dewan perwakilan rakyat Bambang Soesatyo yang juga politisi Golkar bahkan hingga harus menyatakan akan mempertaruhkan jabatannya bila hingga LGBT dilegalkan.

Reaksi ini sangat masuk akal alasannya sejumlah survei mengatakan hampir semua pemilih –bukan sekedar mayoritas– menolak keras praktik LGBT.

Tidak hanya di kalangan pemilih usia bau tanah yang konotasinya konservatif, bahkan generasi milenial yang dicirikan lebih terbuka dan permisif, juga menolak keras.

Survei yang dilakukan oleh Median menyebutkan sekitar 96.5% responden menolak dengan keras LGBT. Sementara hasil survei CSIS mengatakan 78,92% generasi milenial juga menolak LGBT, dan 15.86% kurang menerima. Sisanya 3.96% cukup menerima, dan yang sangat mendapatkan jumlahnya sangat kecil, hanya 1,26%.

Perilaku pemilih kita yang dikonfirmasi oleh dua survei tadi sepertinya menjadi alasan di balik reaksi keras sejumlah partai atas pernyataan Zulhasan. Mulai dari partai yang berada di sayap kiri (PDIP), tengah (Golkar, Nasdem, Demokrat, Gerindra, dan Hanura), hingga partai di sayap kanan (PPP, PKB, PAN, dan PKS). Tidak ada satupun parpol yang ingin mendapat stempel, atau setidaknya diasosiasikan sebagai pendukung LGBT.

Citra sebagai parpol pendukung LGBT dikhawatirkan akan sangat menghipnotis keputusan para pemilih dan menggerus habis bunyi mereka dalam Pileg 2019.

Efek elektoral tersebut sepertinya juga akan sangat besar lengan berkuasa dalam pilkada. Apakah partai atau kandidatnya menjadi pendukung LGBT atau tidak, akan sangat memilih keterpilihan seorang kandidat? Apalagi bila ada seorang kandidat yang terindikasi sebagai pelaku LGBT, dampaknya akan sangat buruk.

Kedua, imbas jangka menengah. Hancurnya kampanye para pendukung LGBT. Selama ini para pendukung gerakan ini sangat bernafsu dan sudah berani terbuka. Mereka sangat aktif melaksanakan kampanye melalui aneka macam medium. Ada yang menggarapnya melalui jalur budaya, akademik, penggalangan opini media dan medsos melalui aneka macam artikel, games, jalur politik, dan jalur hukum.

Para pendukung LGBT ini biasanya memakai pendekatan hak asasi insan (HAM) sebagai selubung dan pembenaran (cover and justification). Yang mereka dengung-dengungkan jikalau Indonesia ingin maju dan diakui setara dengan negara beradab lainnya, haruslah sanggup mendapatkan LGBT sebagai realitas sosial. Taglinenya “Indonesia tanpa diskriminasi.”

Memasyarakatkan LGBT yakni gerakan liberal dan sekulerisme global yang didukung PBB dan disupport dengan dana besar. Melalui United Nation Development Programme (UNDP), PBB menggelontorkan dana sebesar USD 8 juta untuk membantu LSM dan perorangan mengkampanyekan dan mengadvokasi pelaku LGBT di Indonesia, Cina, Filipina, dan Thailand.

Di luar jalur opini, mereka juga melaksanakan aneka macam gerakan yang simultan. Melalui Komisi HAM PBB (UNCHR) mereka aktif menekan pemerintah Indonesia. Sementara melalui jalur LSM dan perorangan melaksanakan lobi-lobi di DPR, terutama melalui Badan Legislasi.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di dewan perwakilan rakyat menjadi pintu celah bagi mereka untuk sedikit memperlonggar ketentuan pidana atas sikap LGBT.

Melihat time table kampanye UNDP yang berlangsung Desember 2014-September 2017, maka awal tahun 2018 ini seharusnya situasi di Indonesia sudah cukup aman bagi praktik LGBT. Mereka mencoba masuk melalui jalur legislasi.

Namun statemen Zulhasan menjadikan semuanya menjadi mentah. Kampanye yang mereka berdiri sekian lama, dengan dana yang cukup besar menjadi berantakan.

Banyak anggota dewan perwakilan rakyat yang ditengarai menjadi pendukung idiologi LGBT, balik kanan, putar haluan. Mereka sangat kaget dan tidak menerka reaksi yang muncul begitu dahsyat.

Dalam jangka menengah, sepertinya kegiatan kampanye donasi atas LGBT akan mengalami mati suri. Kalau toh tidak mati, mereka harus bersusah payah membangun kembali dari nol.

Ketiga, imbas jangka panjang. Dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana yang sekarang tengah dibahas di DPR, problem pemidanaan atas LGBT menjadi salah satu topik paling menarik perhatian. Isu tersebut menjadi bola panas sesudah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak somasi uji materiil atas kumpul kebo dan LGBT.

Semula dalam rumusan pasal 492 menyebutkan yang sanggup dipidana hanya praktik kekerabatan sesama jenis antara orang remaja dengan anak di bawah usia 18 tahun, atau dilakukan dengan kekerasan. Beberapa fraksi menyerupai PAN, PKS, dan PPP meminta supaya rumusan pasal tersebut diperluas. Perdebatan soal pasal ini sangat alot.

Setelah heboh pernyataan Zulhasan bahwa ada lima fraksi yang mendukung LGBT, semua fraksi kompak mendukung supaya rumusan pidana LGBT diperluas. Bahkan rumusan tersebut meliputi sikap pencabulan sesama jenis yang dipertontonkan di depan umum. Para penganjur dan pendukung LGBT juga diusulkan sanggup terkena pidana.

Tak heran bila banyak kalangan yang kemudian berterimakasih kepada Zulhasan. Sebab alasannya pernyataannyalah peta opini publik maupun pembahasan rumusan pasal LGBT dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana menjadi berubah drastis. Banyak yang curiga lobi-lobi pendukung LGBT ikut bermain di balik alotnya pembahasan rumusan pasal tersebut.

Hampir sanggup dipastikan RUU kitab undang-undang hukum pidana yang akan disahkan didalamnya mencantumkan pemidanaan terhadap sikap LGBT dengan rumusan aturan diperluas. Konskuensinya menjadi jangka panjang.

kitab undang-undang hukum pidana yang dikala ini tengah dibahas oleh dewan perwakilan rakyat yakni UU produk Indonesia yang dibutuhkan akan menggantikan kitab undang-undang hukum pidana buatan kolonial Belanda. Untuk mengganti/membuat sebuah UU yang baru, prosesnya sangat panjang dan berliku. Memerlukan waktu hingga 73 tahun bangsa Indonesia merdeka, gres kita akan mempunyai kitab undang-undang hukum pidana buatan sendiri.

Perubahan sikap fraksi-fraksi di dewan perwakilan rakyat merupakan malapetaka bagi para pendukung LGBT. Sebaliknya menjadi angin segar bagi para penentangnya.

Sebuah media menobatkan Zulhasan sebagai “Tokoh Pekan Ini,” alasannya besarnya imbas dari pernyataannya.

Namun melihat dampak dari pernyataannya, sudah terang efeknya tidak hanya akan bertahan sepekan. Bisa hingga bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun mendatang.

Inilah barangkali yang sanggup disebut sebagai *_Zulhasan Effect_* dalam kamus gres politik dan aturan Indonesia.

Penulis: Hersubeno Arief
Share Artikel: