Simbol Batik Naga Anies Di Mata Najwa


Oleh: Karta Raharja Ucu*

Saya mengulum senyum ketika membaca komentar-komentar warganet perihal kegiatan Mata Najwa yang dipandu Najwa Shihab, di salah satu stasiun televisi swasta, Rabu (24/1/2018). Dalam episode '100 Hari Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta', Najwa dinilai kurang sopan alasannya ialah kerap memotong klarifikasi dari narasumber, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Kali ini saya bukan terfokus pada kritikan warganet atas pembawaan Najwa, tapi cara Anies bersikap dan mengelola emosi ketika menjawab rentetan pertanyaan dari Najwa. Bagi yang menonton kegiatan itu, --dan tentunya menilai secara objektif tanpa dilandasi kebencian kepada Anies-Sandi--, niscaya oke jikalau Anies tetap bisa menjaga perilaku dan tak terpancing emosinya ketika diwawancara wartawan, tetapi serasa diinterogasi polisi.

Di tiap-tiap tanggapan dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Nana, sapaan bersahabat Najwa, Anies menjawabnya dengan kalem, santai, walau di beberapa bab mantan mendikbud itu sedikit meninggikan intonasi. Itu pun terlihat dan terdengar karena Nana memotong klarifikasi Anies yang belum rampung. Kalau kata seorang warganet menilai agresi Nana, "Yang bertanya dia, yang menjawab dia, yang menyimpulkan dia."

Tiap gerakan tubuh dan kalimat yang disusun Anies menjawab pertanyaan Najwa menggambarkan jikalau ia sedang memainkan politik simbol. Di kegiatan itu, politik simbol Anies paripurna dengan motif batik corak naga yang dikenakannya. Bukan naga sembarang naga, tapi raja naga. Lewat corak batik yang dikenakan, Anies ingin menunjukkan sinyal jikalau ia ketika ini yang bisa mengendalikan naga, bukan dikendalikan naga. Ia seolah ingin mengumumkan jikalau citranya sekarang ialah penjaga rakyat miskin, bukan orang-orang besar.

Tak percaya, tengok tanggapan beliau perihal reklamasi, penataan PKL Tanah Abang, hingga kebijakan becak. Anies menyatakan dengan tegas tetap menolak reklamasi. Tetapi bukan asal menolak, Anies menjabarkan alasannya mengapa reklamasi harus dilarang dengan mengacu kepada Keppres Nomor 52 Tahun 1995 Pasal 4 perihal Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam pasal itu disebutkan, wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur DKI. Selain itu, Anies juga berpatokan pada Perda Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 33 yakni penyelenggaraan reklamasi oleh tubuh pelaksana.

"Ini tanah air kita, dan diatur dengan aturan yang ada di tanah air kita. Kita tidak akan memarahi orang lain, tapi tegas dengan aturan yang dibuat," kata Anies menutup segmen terakhir Mata Najwa.

Dengan latar belakang sebagai pendidik, dosen, hingga rektor, Anies sangat bersahabat dengan politik simbol. Jangan lupa pula, Anies ialah salah satu bab tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla ketika Pilpres 2014. Ia bahkan ditunjuk menjadi juru bicara pemenangan Jokowi-JK. Maka bisa dikatakan Anies ialah salah seorang arsitek yang membangun gambaran merakyat dan sederhana Jokowi-JK di mata rakyat. Anies pun sukses mengantarkan Jokowi-JK melenggang ke Istana. Ia pun sempat diangkat menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan.

Sejak masa kampanye hingga menjadi gubernur, bersama wakilnya Sandiaga Uno, Anies berusaha mempertahankan politik santun. Santun dalam berbicara, santun dalam menjawab setiap kritikan, hingga santun dalam menangkis serangan-serangan politik. Tapi santunnya Anies bukan berarti asal jeplak atau menyeringai sambil cengangas-cengenges ketika melontarkan jawaban. Anies selalu menjawab dengan tanggapan cerdas, serta yang terpenting menurut data. Rancak kalau kata orang Sumatra Barat.

Anda yang membaca dan berada di kubu seberang Anies, niscaya bilang semua yang dilakukannya ialah pencitraan. Menurut saya bukan politik pencitraan, tetapi politik simbol. Sekali lagi, politik simbol. Anies berhasil memainkan kiprahnya sebagai seorang pemimpin yang dicintai rakyat.

Satu pola yang menciptakan Anies-Sandi dihujani kebanggaan sekaligus kritikan alasannya ialah dinilai pencitraan, ialah ketika Jakarta dilanda banjir. Anies eksklusif terjun ke lapangan dengan mendatangi sejumlah wilayah yang terendam air. Menyapa warga, dan mencari solusi bersama rekan-rekan kerjanya. Dunia sosial media pun dibanjiri hujatan, warganet menuntut kesepakatan Anies-Sandi yang disebut tak becus mengurus Jakarta sampai-sampai ibu kota terendam air. Upaya Anies mendatangi tempat banjir pun dinilai sebagai ajang pencitraan, bukan solusi mengatasi banjir.

Saya sih cukup tersenyum saja membaca kritikan-kritikan itu. Lah, Anies-Sandi ketika itu gres dua bulan memimpin Jakarta, tapi mintanya semua dilema cepat diselesaikan. Ya banjir, ya macet, harus selesai dalam satu kedipan mata. Wong sekelas Raden Bandung Bondowoso yang disebut sakti mandraguna saja perlu waktu satu malam untuk membangun seribu candi, apalagi Anies-Sandi yang tidak punya ajian apa pun, dituntut harus menyelesaikan dilema Jakarta yang super rumit hanya dalam tempo hitungan bulan. Apalagi banjir sudah melanda Jakarta semenjak zaman Raja Purnawarman. Herannya, walau dihujani hujatan dan kritik, toh Anies-Sandi tetap bisa bekerja maksimal. Jika Bandung Bondowoso hero pilih tanding, Anies-Sandi bisa dibilang sebagai pemimpin pilih tanding. Pemimpin yang dipilih sehabis bertanding secara adil, bukan memimpin alasannya ialah sanggup lungsuran jabatan.

Bayangkan saja, gres 100 hari bekerja, Anies-Sandi sudah menuntaskan sejumlah kegiatan kerja yang dijanjikan selama masa kampanye. Bukan satu atau dua janji, tapi sekitar 10 kesepakatan kampanye sudah dituntaskan Anies-Sandi. Antara lain, menutup Alexis, menata pedagang kaki lima, menunjukkan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, one karcis one trip (OK Otrip), Oke Oce, rumah DP 0 rupiah, pajak melebihi target, membolehkan motor lewat Jalan MH Thamrin, Monas bebas dipakai untuk kegiatan keagamaan, budaya dan seni, serta mengizinkan becak beroperasi. Bagaimana rakyat tidak kagum dengan kinerja kepala tempat yang mendahulukan kepentingan rakyat kecil.

Kebijakan-kebijakan itu menyerupai magnet yang menarik simpati rakyat dari zona proletar alias wong cilik. Meski ada yang menentang dan tidak oke dengan kebijakan Anies-Sandi, toh mereka hanya sebagian kecil. Apalagi Anies-Sandi mempunyai hak dalam menciptakan kebijakan sebagai kepala tempat dan menjalankan roda pemerintahan. Dikritik kan juga manis untuk kesehatan roda pemerintahan, daripada terus menerus dipuji bisa-bisa jadi antikritik.

Mengutip sindiran, atau mungkin lebih tepatnya 'julukan', yang diberikan sejumlah warganet untuk Anies-Sandi. Anies disebut gabener, dan Sandi sebagai wahgabener. Memang, Anies gabener. Sandi wahgabener juga. Anies di sini memang tidak bisa mengelak dari julukan gabener. Soalnya, ketika Kementerian Perdagangan mengimpor 500 ribu ton beras, Anies malah pamer jikalau Pemprov DKI mempunyai 300 hektare lahan pertanian yang hasil panennya berpotensi menjadi pemasok pangan warga Ibu Kota. Tak hanya itu, Anies bahkan ikut memanen padi di areal sawah milik Pemprov DKI di bilangan Cakung, Jakarta Timur. Anies seolah tidak mau kalah dengan daerah-daerah lain yang lebih dulu panen padi hingga surplus beras. Padahal Jakarta dijuluki hutan beton, tapi masih punya sawah dan bisa menghasilkan padi, tak kalah dengan daerah-daerah yang menjadi lumbung padi indonesia. Gak bener kan?! Kerja terus soalnya dia. Hasilnya juga transparan dan dipetik masyarakat.

Ah memang, Anies-Sandi bener-bener gabener. Bisanya cuma kerja saja selesaikan program, tanpa perlu sewot dan marah-marah, apalagi menepuk dada membanggakan hasil kerja. Karena itu, move on yuk. Lupakan persaingan di Pilgub DKI 2017 lalu. Kita sebagai warga Jakarta sebaiknya menunjukkan waktu dan pertolongan biar Anies-Sandi bisa menuntaskan semua program-programnya sembari kita kawal cara kerjanya. Jika semua kegiatan terealisasi, yang untung kan warga Jakarta juga. Betul gak?

(Sumber: ROL)


Share Artikel: