Skenario Joko Widodo Vs Kotak Kosong Di Pilpres 2019
Oleh: Hersubeno Arief
(Wartawan senior, konsultan media)
Kalangan internal PDIP mulai menggarap secara serius kemungkinan menjodohkan Jokowi dengan Prabowo.
“Mungkin saja. Dalam politik itu nggak ada yang nggak mungkin,” kata Ketua DPP PDIP (non aktif) Puan Maharani pada penutupan Rakernas III di Bali.
Pernyataan Puan “putri mahkota” Ketua Umum PDIP Megawati ini tidak sanggup dianggap sebagai ucapan sambil lalu. Seorang ketua umum partai pendukung pemerintah mengaku pernah diajak bicara soal ini. Ketika bertemu di istana, Jokowi bertanya “bagaimana jikalau ia berpasangan dengan Prabowo?”
Sama menyerupai Puan, Jokowi juga bicaranya terkesan sambil lalu, sesudah berbicara banyak sekali topik lainnya. Tapi sang ketua umum sanggup menangkap dan memahami apa gotong royong yang menjadi harapan Jokowi.
Mengapa Jokowi dan juga PDIP ingin menggandeng Prabowo? Mengapa tidak menentukan salah satu calon di internal PDIP, Puan Maharani misalnya. Atau menentukan satu diantara para ketua umum partai pendukung yang juga bersiap, bahkan sangat menginginkan digandeng sebagai cawapres. Bagaimana kalkulasinya?
Mari kita lihat dari hitung-hitungan, kalkulasi politik kedua belah pihak.
Pertama, dari sisi Jokowi bagaimanapun juga ketika ini Prabowo masih merupakan penantang terkuat. Sejumlah survei menawarkan keduanya merupakan pemilik elektabilitas teratas, dibandingkan dengan capres-capres lainnya. Bila disatukan, maka hampir sanggup dipastikan Jokowi akan kembali melenggang ke dingklik presiden untuk kedua kalinya.
Kedua, dengan menggandeng Prabowo, Jokowi sanggup menutup peluang kemungkinan munculnya figur alternatif yang sanggup diusung kubu penantang.
Gerindra ketika ini mempunyai 73 kursi. Bila bergabung dengan sekutu utamanya PKS yang mempunyai 40 kursi, maka total jumlahnya 113 kursi, sudah memenuhi syarat minimal presidential threshold 20% dari total dingklik dewan perwakilan rakyat sebanyak 560.
Munculnya figur alternatif inilah yang sepertinya ketika ini mati-matian dihindari oleh kubu pendukung Jokowi. Sebab banyak sekali survei juga menawarkan elektabilitas Jokowi hanya berkisar di angka 40%, bahkan cenderung menurun hingga di angka 35%. Sudah lampu kuning. Artinya ada 60-65% pemilih menginginkan figur baru.
Dua nama yang disebut-sebut punya potensi mengalahkan Jokowi yakni Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan. Keduanya punya kedekatan dengan umat, dan sangat mungkin diusung oleh Gerindra dan PKS.
Di luar itu ada tiga partai lain yang sanggup mengusung kandidat, yakni Demokrat (61), PAN (49), dan PKB (47). Namun poros ini hanya sanggup menerima satu tiket bila ketiga-tiganya bergabung dengan total 157 kursi.
PKB walaupun sejauh ini belum menyatakan akan mencalonkan Jokowi, namun posisinya berada di pemerintahan. Kaprikornus mendukung Jokowi sepertinya tetap menjadi opsi utama, apalagi bila Ketua Umum PKB Muhaimin diusung sebagai cawapres. Sementara PAN kendati berada dalam kubu pemerintah, namun naga-naganya bakal membelot dan lebih punya kedekatan dengan Gerindra dan PKS.
Ketiga, bila berhasil menarik Prabowo, maka niat Jokowi untuk merangkul PKS sanggup berhasil. Jokowi diketahui secara intensif sudah melaksanakan pendekatan dengan PKS biar bersedia bergabung dalam poros pendukungnya. Kabarnya Jokowi memberi tenggat waktu final bulan ini, untuk PKS.
Bergabungnya PKS sangat penting bagi Jokowi untuk meraih pinjaman dari kalangan umat Islam yang selama ini menjadi titik lemah Jokowi. Namun alasannya yakni penolakan kader yang begitu kuat, membuat pimpinan PKS harus menolak pinangan Jokowi.
Bila Prabowo menjadi cawapres Jokowi, maka PKS akan dihadapkan pada posisi yang sulit, dan mau tidak mau harus mendukung duet ini. Dengan begitu sasaran Jokowi menggaet PKS tetap berhasil, kendati dengan cara melingkar.
Keinginan menggaet Gerindra dan PKS tersebut secara tegas juga dinyatakan oleh Wakil Sekjen DPP PDIP Ahmad Basarah. Dia menyebutnya sebagai power sharing. Bagi-bagi kekuasaan.
Keempat, banyak sekali skenario tadi bila berhasil akan membuat Jokowi melawan kotak kosong dalam Pilpres 2019. Secara kalkulasi tinggal Demokrat dan PAN yang tersisa, bila PKB kemudian juga memutuskan bergabung dengan Jokowi. Total bunyi Demokrat dan PAN hanya 110 kursi, atau kurang dua dingklik untuk memenuhi syarat presidential threshold.
Keinginan biar Jokowi sanggup melawan kotak kosong sudah dinyatakan oleh fungsionaris Golkar Bambang Soesatyo yang sekarang menjadi Ketua DPR.
Kelima, bagi PDIP bila jadi menggandeng Prabowo akan sangat menguntungkan alasannya yakni dari sisi usia Prabowo mustahil lagi menjadi capres pada Pilpres 2024. Karena itu tidak membahayakan bagi proses kaderisasi di PDIP. Pada Pilpres 2024 Puan Maharani setidaknya sudah cukup matang untuk bertarung menjadi capres.
Selain itu laba lain dari PDIP sanggup mengeliminir peluang Gerindra menjadi partai pesaing PDIP. Sebab banyak pendukung Gerindra yang akan kecewa dan mengalihkan dukungannya ke partai lain, bila Prabowo mendukung Jokowi.
Satu hal lagi yang juga perlu dicatat, setidaknya Megawati sanggup membayar hutang kesepakatan yang tertunda kepada Prabowo. Dalam perjanjian Batutulis sebelum Pilpres 2009 Megawati berjanji akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014, bila ia bersedia menjadi cawapres Megawati. Janji itu tidak dipenuhi. Megawati malah mengusung Jokowi yang ironisnya kemudian mengalahkan Prabowo.
Lantas bagaimana hitung-hitungannya dari sisi Prabowo. Apa untung ruginya?
Pertama, bagi Prabowo bila bergabung dengan Jokowi akan sangat menguntungkan. Apalagi bila melawan kotak kosong.
Dia akan terhindar dari membuat sejarah jelek alasannya yakni kalah tiga kali berturut-turut dalam Pilpres.
Pada Pilpres 2009 Prabowo menjadi cawapres Megawati, kalah dari pasangan SBY-Budiono. Pada Pilpres 2014 Prabowo yang menjadi capres berpasangan dengan Hatta Radjasa, kalah melawan Jokowi-Jusuf Kalla.
Kedua, Prabowo tidak perlu memikirkan penggalangan dana. Dapat dipastikan semua biaya pencapresan akan ditanggung Jokowi dan para pengusungnya. Bisnis yang dikelola adik kandungnya Hasyim Djojohadikusumo juga sanggup berjalan dan bangun kembali.
Sebaliknya bila ia maju kembali sebagai capres, maka ia harus bekerja keras melaksanakan pengumpulan dana. Soal dana ini menjadi soal sangat krusial dan serius. Dengan elektabilitasnya yang rendah dan berpotensi besar kalah bila melawan Jokowi, sangat sulit mencari “Bandar” yang mau membiayai dan menyokongnya.
Ketiga, dari survei yang dilakukan Media 1-9 Februari hanya 1.7% pemilih Gerindra yang akan menentukan Jokowi. Artinya peluang Gerindra untuk menjadi partai papan atas bersama PDIP sanggup terancam bila Prabowo memutuskan bergabung dengan Jokowi.
Soal ini harus menjadi pertimbangan serius bagi Prabowo. Sebagai pendiri Gerindra tentu ia ingin mempunyai warisan, legacy. Prabowo niscaya tidak ingin dikenang sebagai orang yang mendirikan dan membangun Gerindra dengan susah payah, dan kemudian menghancurkannya.
Keempat, gambaran Prabowo sebagai politisi yang sangat akrab dan mendukung kepentingan umat akan tetap terjaga bila Prabowo menentukan tidak bergabung dengan Jokowi. Sebaliknya bila bergabung dengan Jokowi, maka ia akan dikenang sebagai politisi yang mengkhianati aspirasi umat
Kelima, bila memutuskan untuk tidak bergabung dengan Jokowi, atau maju sendiri sebagai capres, Prabowo sanggup menjadi seorang 'king maker'. Tangan dinginnya sebagai 'king maker' telah terbukti pada dua Pilkada DKI (2012 dan 2017).
Gerindra sanggup mendukung salah satu diantara Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, atau figur lain yang punya kedekatan politik dengannya.
Bila Gatot yang dipilih, ia sanggup membuat pasangan yang kuat militer-sipil. Sementara bila Anies yang dipilih maka Gerindra akan menerima bonus tambahan, alasannya yakni kadernya Sandiaga Uno akan menjadi Gubernur DKI. Dia akan menggantikan Anies, yang terpilih sebagai presiden.
Sebagai 'king maker' Prabowo akan tetap memainkan peranan politik yang sangat penting, menyerupai posisi Megawati ketika ini. Kendati tidak menjadi presiden, tapi realitas politik yang tidak sanggup dibantah, Megawati yakni politisi paling kuat di Indonesia ketika ini.
Berbagai kalkulasi politik tadi tentu akan menjadi pertimbangan yang tidak gampang bagi Prabowo dan para pendukungnya. Dalam politik tidak hanya sekedar untung dan rugi, tapi ada idealisme yang harus diperjuangkan.
(26/2/2018)
Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/menjodohkan-jokowi-dengan-prabowo/
Ada yang mau Maen kroyokan di 2019. Maunya ngeroyok kotak kosong lagi.— #MerdekaBro! (@Fahrihamzah) 25 Februari 2018