Jarang yang Mengkaji Mengapa Muhammad SAW Tidak Diutus di Jantung Romawi maupun Persia?
[Jarang yang Mengkaji Mengapa Muhammad SAW Tidak Diutus di Jantung Romawi maupun Persia?]
HIKMAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW:
Misi Kenabian adalah Merancang Model Baru Peradaban
Oleh: Harry Santosa*
Dahulu menjelang masa Kenabian Muhammad SAW, manusia menyangka dunia akan kiamat. Kepekatan jahiliyah dan kezhaliman imperium Romawi di barat dan imperium Persia di timur sangat menyengsarakan dunia. Dua imperium inipun bergantian menaklukan negeri-negeri yang berada dalam jangkauan mesin militer mereka.
Sementara di daratan China, imperium Qin juga menindas negeri-negeri di daratan itu bahkan memperbudaknya untuk membangun tembok besar China pada abad 2 SM, sepanjang 8.851 km yang dikerjakan oleh hampir 1 juta pekerja, yang membentang panjang untuk melindungi dari dari serbuan Romawi maupun Persia.
Imperialisasi dan kolonialisasi yang dikampanyekan para adidaya ketika itu, membuat sebagian besar dunia mengalami kesengsaraan luar biasa. Penaklukan terus menerus bangsa-bangsa, dilanjutkan pembantaian dan penistaan, kemudian perbudakan dan penindasan melanda barat dan timur.
Lalu orang orang memohon kepada Allah SWT agar segera diutus Nabi akhir zaman sebagaimana telah diberitakan di Zabur, Taurat dan Injil unuk menyelamatkan dunia, menjadi juru selamat global bukan hanya lokal.
Lalu orang orang menduga, Nabi akhir zaman itu akan diutus di jantung imperialisme Romawi atau Persia untuk memadamkan kebakaran besar yang melanda dunia langsung di pusat api kebiadabannya.
Namun orang-orang pada masa itu termasuk bangsa Yahudi yang lebih dulu menerima berita akan datangnya Nabi akhir zaman, kecele dan kecewa. Allah SWT ternyata mengutus Nabi akhir zaman itu jauh dari pusat kebiadaban.
Muhammad Rasulullah SAW diutus di jazirah Arab, sebuah padang pasir gersang, dengan suku-suku yang dianggap tak beradab karena jauh tertinggal dari kejeniusan fikiran dan kehebatan materi bangsa Romawi dan bangsa Persia.
Romawi dan Persia sama sekali tak tertarik untuk menjajah bangsa Arab yang miskin sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia itu. Mereka jauh lebih tertarik menjajah Yaman, jauh di selatan Mekkah.
Abrahah yang pernah cemburu pada pilgrimage orang-orang yang menziarahi Ka'bah, lalu menyerang untuk menghancurkan Ka'bah namun tak berniat menaklukkan Mekkah itu adalah Gubernur Jendral Persia yang ketika itu menjajah Yaman.
Jadi sementara kedua imperium adidaya itu sudah melimpah dengan tingkat peradaban yang tinggi dengan arsitektur yang hebat, colloseum Cesar dan istana putih Kisra yang megah, namun bangsa Arab masih tinggal di bangunan sederhana dan berkutat perang saudara hanya gara gara berselisih seekor unta milik suatu suku yang terbunuh karena minum di kebun suku lain.
Allah SWT ternyata punya rencana lain yang kelak menjadi pelajaran penting dalam menegakkan cahaya suatu peradaban di tengah pekatnya kekelaman. Dan rencana itu ternyata sudah dipersiapkan jauh-jauh abad, di era Ibrahim AS.
Di masa Ibrahim AS, perintah untuk membawa anak istri, Hajar dan Ismail, ke Mekah, di Jazirah Arab, jauh dari wilayah perjuangan Nabi Ibrahiem AS di Babilonia, sungguh perintah yang tak masuk akal. Dan kemudian, perintah meninggalkan Hajar dan Ismail berdua saja di lembah gersang, juga lebih tak masuk akal lagi.
Berabad kemudian, 5 abad setelah kelahiran Nabi Isa AS, perintah Allah itu menjadi sangat masuk akal bahkan sangat mengagumkan, subhanallah. Tempat di padang pasir itu yang dibangun Baitullah ternyata memang menjadi tempat terbaik untuk merancang sebuah model baru peradaban yang akan berlangsung berabad abad kemudian sampai akhir masa Ummat manusia.
Muhammad SAW, sang Nabi akhir zaman itu ternyata dipersiapkan bukan untuk menghancurkan langsung model lama peradaban yang menyengsarakan manusia (Romawi-Persia), namun untuk Merancang Model Baru Peradaban yang kelak membuat model lama itu menjadi usang dan ditinggalkan orang. Muhammad ditakdirkan menjadi arsitek peradaban.
Begitulah kemudian Nabi SAW bisa fokus merancang model baru itu, perlahan mentarbiyah komunutas kecil para sahabat-sahabatnya, meletakkan fondasi yang kokoh, tanpa gangguan Persia dan Romawi.
Gangguan dan serangan lokal tentu saja ada, tetapi begitu cara Allah melatih komunitas kecil ini dengan peristiwa-peristiwa seserhana secara bertahap sebelum kelak mampu menghadapi peristiwa besar dan peradaban besar.
Itulah mengapa setiap arahan langit selalu mengkontekskannya dengan misi besar peradaban, berupa perintah untuk senantiasa fasiru (melihat pola pada dimensi tempat, yaitu geografis, demografis dan geopolitik) dan fanzhuru (melihat pola pada dimensi waktu, yaitu sejarah, masa kini dan masa depan) bagimana peradaban dibangkitkan dan dihancurkan.
Misalnya Allah SWT menurunkan 40 ayat khusus untuk mengomentari kekalahan perang Uhud. Dalam pandangan sejarah, itu hanya perang kecil dibanding perang-perang yang pernah terjadi di dunia.
Namun Allah SWT membawa konteks perang itu pada jatuh bangunnya peradaban, bagaimana peradaban jatuh dan bangkit. Taujih tentang peradaban yang langsung dari langit ini benar-benar mengkonstruksi nalar, jiwa dan pensikapan komunitas kecil ini untuk menjemput takdir peran peradabannya baik individual maupun kolektif komunal.
Generasi Sahabat Nabi ini memang generasi terbaik yang sedang dipersiapkan sebagai prototype model baru peradaban. Untuk itu mereka dipersiapkan secara personal untuk memiliki peran peradaban yang memberi solusi dan peringatan (basyiro wa nadziro) juga menebar rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin), kemudian secara komunal dipersiapkan untuk peran menjadi the new best model community (khoiru ummah dan ummatan wasathon), dan Rasulullah SAW adalah Arsitek Peradaban yang merancang Model Baru Peradaban.
Lalu kita semua mencatat, model baru peradaban yang dirancang ini menemui wujudnya sebagai Madinah alMunawaroh, sebuah model peradaban baru yang menyebabkan model lama peradaban menjadi usang. Kebaruan model yang sesuai fitrah manusia dan dirasakan manfaatnya oleh manusia itulah yang telah menggulung kedua model peradaban lama itu untuk pupus selamanya.
Semoga Maulid kali ini menyadarkan kita bahwa kita tak harus selalu berhadap hadapan berperang dengan model lama, menjadi terapis kebiadaban model peradaban lama apalagi sibuk menjadi pemadam kebakaran peradaban tetapi jadilah arsitek peradaban yang merancang model baru peradaban sehingga model lama menjadi usang. Begitulah sunnah yang telah berlalu pada Nabimu.
Salam Pendidikan Peradaban.
(Harry Santosa, integrator pemikiran pendidikan, penulis buku Fitrah-based Education, Knowledge management expert)
*Sumber: fb