Ngaku NU wajib ber-PKB
YANG merasa NU harus ber-PKB.
Hah?
Itulah tema yang dikampanyekan secara gencar. Belakangan ini. Yang melakukannya tokoh muda terkenal dari Cirebon: Kiai Haji Imam Jazuli. Yang mengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia (Bima). Yang saya kunjungi –dan dikunjungi selebriti Nikita Mirzani– kapan itu (Disway 12/11/2021).
Kiai Jazuli tidak hanya bicara. Ia ciptakan kaus khusus: di bagian depannya ada kalimat ”Ngaku NU wajib ber-PKB”. Lalu, ada kata-kata kecil di bawahnya: ”karena PKB alat politik NU”.
Lalu, ada lambang NU di bawah tulisan itu.
Foto peragawan yang mengenakan kaus itu dipajang di beberapa grup WA. Keren. Tentu grup tersebut dekat dengan kalangan Nahdlatul Ulama. ”Boleh pesan. Gratis,” ujar Kiai Jazuli.
Beberapa hari kemudian Kiai Jazuli posting lagi: ternyata laris juga.
Serius?
Mengejek?
Menantang?
Jazuli tidak peduli. Ia lahir di Cirebon. Alumnus Ponpes Lirboyo, Kediri. Juga lulusan Al Azhar, Mesir.
Pesantren yang ia dirikan di Cirebon itu melejit seperti roket. Januari lalu ia mengadakan acara wisuda. Pesantrennya sendiri di desa. Di lereng Gunung Ceremai. Tapi, wisudanya di pusat kota Cirebon. Di tiga hotel terbesar di kota itu. Saking banyaknya.
Yang mengagumkan: hari itu diumumkan berapa wisudawan yang diterima melanjutkan kuliah di Al Azhar, Kairo, Mesir. Jangan kaget: jumlahnya 90 orang. Santri-santri dari desa nan miskin itu segera hidup di luar negeri. Seperti mimpi.
Itu karena pesantren Bima punya strategi khusus: semester terakhir tidak ada lagi mata pelajaran lain kecuali menghadapi tes masuk Al Azhar. Di semester akhir itu suasana belajarnya sudah dimiripkan di sana.
Itu bisa dilakukan karena mata pelajaran lain sudah dianggap selesai.
Semester pertama, mata pelajarannya hanya tiga: membaca Qur’an, matematika, dan fisika. Semester dua juga hanya tiga: menghafal Qur’an, matematika, dan fisika.
Dalam enam bulan itu santri harus sudah hafal Qur’an. Dengan metode khusus. Santri yang ber-IQ tinggi pasti bisa hafal keseluruhan, 30 juz. Tapi, bagi yang tidak kuat, boleh 20 juz. Ada juga yang hanya kuat 10 juz.
Semester berikutnya mata pelajaran tetap tiga saja: bahasa Arab, matematika, fisika. Setelah itu, tetap tiga: bahasa Inggris, matematika, fisika.
Saya pun mengirim tim ke pesantren tersebut. Untuk belajar lebih jauh. Lebih 100 madrasah di keluarga besar kami juga ingin berubah lagi.
Apakah itu pesantren PKB?
Bukan. Guru-guru di sini boleh menjadi caleg dari partai apa saja. Bahkan, ada yang jadi caleg PDI Perjuangan. Kiai Jazuli sendiri pernah menjadi ketua PDI Perjuangan di Mesir.
Mengapa bikin kampanye ”yang mengaku NU wajib ber-PKB”? Sampai-sampai seperti menantang kebijakan baru Pengurus Besar NU? Yang ingin agar NU kembali ke khitah?
Ia memang punya perhitungan sendiri: warga NU itu konon mencapai 80 juta orang. Kalau sepertiganya saja memilih PKB, perolehan suara partai itu bisa yang terbesar. Bisa mencalonkan presiden. ”Masak NU yang begitu besar, perolehan kursinya hampir sama dengan PKS,” katanya suatu saat.
Padahal, Jazuli bukan pengurus PKB. Pun di daerah. Apalagi di pusat. Ia juga bukan pengurus NU. Pun yang lama. Apalagi yang baru.
Maka, tidak ada yang bisa memperingatkan Kiai Jazuli. Apalagi memecatnya. Ia bebas. Merdeka. Dari struktur mana pun juga.
Tapi, ia ingin PKB besar. Sebagai alat politik NU yang mencerminkan kebesaran NU.
Tentu Muhaimin Iskandar senyum-senyum dikulum. Ia baru saja mendapat peringatan dari PBNU –gara-gara menemui pengurus NU Cabang Banyuwangi dan Sidoarjo.
Ini memang eksperimen besar: memisahkan NU dengan PKB –dan partai mana pun.
Rupanya, arti larangan politik di NU sebatas untuk partai. Nyatanya, Sekjen PBNU yang baru, Saifullah Yusuf, tetap di jabatan politiknya: wali kota Pasuruan. Dan pengurus PBNU lainnya, Khofifah Indar Parawansa, juga tetap menjabat gubernur Jatim.
NU dan politik sudah seperti air dan sirup. Bisakah jadi ibarat air dan minyak?