Puasa Arafah TIDAK SAH Jika Tidak Bertepatan dengan WUKUF di ARAFAH??

Puasa Arafah TIDAK SAH Jika Tidak Bertepatan dengan WUKUF di ARAFAH Puasa Arafah TIDAK SAH Jika Tidak Bertepatan dengan WUKUF di ARAFAH??
Puasa Arafah TIDAK SAH Jika Tidak Bertepatan dengan WUKUF di ARAFAH??

Oleh: Arsyad Syahrial
 
Terus terang saya kaget mendengar fatwa oknum di video terlampir ini yang mengatakan bahwa puasa tanggal 9 Żul-Ḥijjah (Puasa Àrofah) adalah terkait "tempat", yaitu kapan jamāàh ḥajji wuqūf di padang Àrofah, lalu ada caption vonis bahwa kalau tak sama maka puasanya tak sah.

Benarkah pendapat yang demikian…❓ 

Begini…

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin رحمه الله تعالى pernah ditanya terkait dengan seruan yang menuntut penyatuan ummat dalam berpuasa, agar semua pihak berpatokan dengan tempat munculnya ḥilāl di Makkah.

Maka Beliau menjawab: "Hal ini dari sudut ìlmu Falak (Astronomi) adalah hal yang mustahil, karena tempat muncul (maṭla`) ḥilāl sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله تعالى itu berbeda-beda menurut kesepakatan pakar pada bidang ini. Apabila berbeda, maka ketentuan dalīl naṣ dan teori membuat setiap negara memiliki hukumnya sendiri."

Beliau رحمه الله تعالى juga mengatakan bahwa dalīl aṫār (naṣ) dan teori menuntut kita untuk menjadikan setiap tempat memiliki hukum khusus terkait dengan puasa & berbuka, karena hal tersebut dikaitkan dengan tanda-tanda yang berṣifat kasat mata yang telah Allōh firmankan di dalam Kitāb-Nya, dan telah ditetapkan oleh Nabī-Nya -Muḥammad ﷺ- di dalam Sunnah-nya, yaitu terlihatnya Bulan (ḥilāl) dan terlihatnya Matahari (fajar).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin رحمه الله تعالى juga pernah ditanya tentang perbedaan hari Àrofāh diakibatkan perbedaan daerah maṭla` ḥilāl, apakah berpuasa dengan mengikuti ru’yah-nya negara di mana kita berada, ataukah kita berpuasa mengikuti ru’yah Haromain.

Maka Beliau menjawab: "Hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ùlamā’, apakah satu ḥilāl untuk seluruh Dunia ataukah ḥilāl itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan terbitnya? Yang benar adalah: ḥilāl itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan maṭla`nya. Misalnya jika ḥilāl itu sudah terlihat di Makkah, dan pada hari (wuqūf) adalah tanggal 9, namun ḥilāl sudah terlihat di negara lain sehari sebelum terlihat di Makkah, maka hari wuqūf di Àrofah bagi mereka (di daerah lain itu) adalah bertepatan dengan tanggal 10, tentunya mereka tak boleh berpuasa pada hari itu disebabkan hari itu adalah hari raya. Demikian juga jika ḥilāl di Makkah lebih dulu bisa terlihat, dan hari tersebut tanggal 8 bagi orang di daerah lain, maka mereka berpuasa pada hari ke-9 bagi mereka yang mana itu bertepatan dengan tanggal 10 di Makkah, inilah pendapat yang lebih kuat."

Beliau رحمه الله تعالى juga mengatakan bahwa para Ulama berbeda pendapat menjadi banyak pendapat terkait dengan ḥilāl yang sudah terlihat pada suatu tempat di negara kaum Muslimīn namun tak terlihat di negara lainnya, apakah semua ummat Islām wajib mengàmalkannya atau tidak, apakah bagi mereka yang melihatnya saja dan negara yang satu maṭla` dengan mereka, atau apakah berlaku bagi mereka yang telah melihatnya dan mereka yang berada di bawah satu wilayah dengan mereka? Maka pendapat yang rojih (kuat) adalah perbedaan harus dikembalikan kepada para Ulama, di mana jika maṭla` ḥilāl pada 2 negara sama, maka kedua negara tersebut seperti satu negara, sehingga jika ḥilāl sudah terlihat di salah satu negara maka hukumnya juga berlaku di negara tetangganya. Adapun jika tempat maṭla`nya berbeda, maka setiap negara menentukan masing-masing – pendapat ini adalah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله تعالى dan hal itu sesuai dengan teks al-Qur-ān & as-Sunnah serta tuntutan qiyās.

Majlis Hai-ah Kibāril-Ùlamā’ (Majelis Ulama-nya Arab Saudi) telah mengeluarkan bayan (penjelasan) tentang  masalah yang penting ini, di mana point-nya adalah sebagai berikut:

(1) Perbedaan maṭla` termasuk perkara yang sudah diketahui secara pasti, baik secara kasat mata maupun bersifat teori – tiada seorang Ulama pun yang berselisih dalam masalah ini. Adapun yang menjadi perbedaan di antara para Ulama adalah apakah perbedaan maṭla` ini dianggap atau tidak (dalam penentuan awal bulan).

(2) Masalah apakah perbedaan maṭla` dianggap atau tak dianggap adalah masalah teori yang masuk dalam ruang lingkup "ijtihād". Perbedaan yang terjadi di kalangan para Ulama -sebagaimana umumnya adalah perbedaan pendapat- apabila tepat akan mendapatkan 2 pahala, yaitu: pahala ijtihād & pahala ketepatan, sedangkan jika keliru maka mendapatkan 1 pahala saja. Para Ulama dalam masalah ini berbeda pendapat menjadi 2, di mana sebagian ada yang berpendapat menganggap adanya perbedaan maṭla`, dan sebagian lagi ada yang tak menganggap adanya perbedaan maṭla`. Kedua kelompok tersebut berdalīl dari Kitābullōh & as-Sunnah. Bisa jadi kedua kelompok tersebut berdalīl dengan dalīl yang sama karena ada persamaan dalam pengambilan dalīl (namun mengambil kesimpulan yang berbeda). Hal itu dikarenakan perbedaan dalam memahami naṣ & metode pengambilan dalīl pada masing-masing kelompok.

(3) Majlis Hai-ah Kibār al-Ùlamā’ menganggap adanya perbedaan maṭla`, juga pertimbangan bahwa masalah ini tiada dampak yang dikhawatirkan akibatnya, dan perkara ini telah berlangsung sebagai ajaran agama yang nyata selama 14 abad.

(4) Majlis Hai-ah Kibār al-Ùlamā’ belum pernah mengetahui ada suatu masa di mana ada yang menyatukan ummat Islām dalam satu ru’yah, maka Majlis Hai-ah Kibār al-Ùlamā’ membiarkan masalah sebagaimana asalnya tanpa memperluas pembahasan. Maka, setiap negara Islām mempunyai pilihan dengan bersandar pada pendapat para Ulamanya di antara 2 pendapat yang tadi telah disebutkan dalam masalah ini, karena kedua pendapat tersebut mempunyai landasan dasar dalīlnya.

***

Intinya, telah berlangsung berabad-abad lamanya puasa Arafah itu menggunakan ru’yatul-ḥilāl di masing-masing daerah (tak mengikut hari wuqūf di Àrofah Makkah) pada wilayah yang sangat jauh dari Makkah, karena informasi pada masa lalu itu tak bisa disampaikan secepat hari ini. 

Perkara ini sebenarnya sederhana -bahkan sangat sederhana- sebab orang yang hidup sebelum Abad XIX, sebelum ditemukannya telegraf elektrik oleh Samuel Thomas von Sömmering di tahun 1809, sebelum alat telegraf elektrik itu oleh Carl Friedrich Gauss & Wilhelm Weber diimplementasikan menjadi jaringan telegraf elektrik pada tahun 1833 di Göttingen, media penyampaian informasi hanyalah kuda atau merpati pos saja. Maka bagaimana orang yang jauh dari Makkah bisa menyamakan hari Arafah dan Ȉdul-Adha?
Tak mungkin bisa…!

Tentu satu-satunya cara adalah dengan ru’yatul-ḥilāl, sebagaimana firman Allōh ﷻ:

یَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِیَ مَوَ ٰ⁠قِیتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu (Muḥammad) tentang bulan sabit, katakanlah: "Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ìbādah) ḥajji".” [QS al-Baqoroh (2) ayat 189].

Maka dengan dalīl di atas dan bahwa Islām adalah agama yang mudah, kemungkinan besar itulah mengapa Baginda Nabī ﷺ bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ٱلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

“Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tak biasa menulis dan juga tak biasa menghitung, satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah 29 dan sekali berikutnya 30 hari.”_ [HR al-Buḳōriyy no 1913; Muslim no 1080; Abū Dāwud no 2319; an-Nasāiyy no 2140-1; Aḥmad no 4775, 4891, 5768, 5855].

⚠️ Ḥadīṫ mulia tersebut BUKAN bermaksud mengatakan bahwa kaum Muslimīn menolak kemajuan IPTek, tidak sama sekali. Akan tetapi ia menunjukkan kemudahan dari Syariat Islam, yaitu menentukan awal bulan cukup dengan melihat ḥilāl, tak harus tahu ìlmu ḥisāb falakiyy, tak perlu mempunyai komunikasi canggih untuk menyamakan dengan Makkah secara realtime.

Jikalau hari ini karena kemajuan IPTek sehingga kita bisa tahu apa yang dilakukan orang di Makkah secara "realtime", maka tentu muncul pertanyaan & keraguan di benak sebagian orang pada saat terjadi perbedaan. Maka anggap saja kita tak tahu apa yang terjadi di Makkah, anggap kita tak punya media komunikasi yang realtime atau cepat, tentunya kita tak punya pilihan selain dari ikut kepada ru’yatul-ḥilāl di wilayah / negara masing-masing.

❗ Kemajuan IPTek tidaklah membatalkan apa yang telah ditetapkan oleh Allōh ﷻ dan Rosūl-Nya ﷺ di masa lalu ketika belum ada IPTek.

Penutup:

Adapun yang membuat miris adalah ketika telah berabad-abad lamanya kaum Muslimīn berpuasa Arafah tak merujuk pada hari wuquf di Àrofah untuk daerah yang jauh dari Makkah dan tak pernah ada yang memfatwakan bahwa puasanya tak diterima apalagi salah atau sesat, lalu tiba-tiba ada yang berfatwa begini sehingga membuat gaduh di kalangan kaum Muslimīn yang majemuk…!!!

📖 RUJUKAN:

Share Artikel: