TEMPO: Kasus Tom Lembong Penuh Kejanggalan, Kejaksaan Agung Grusa Grusu

grusuh menetapkan mantan Menteri Perdagangan TEMPO: Kasus Tom Lembong Penuh Kejanggalan, Kejaksaan Agung Grusa Grusu
Dugaan Ompong Korupsi Gula Tom Lembong

[Editorial Koran Tempo, Jumat, 1 November 2024]

KEJAKSAAN Agung tampak grasah-grusuh menetapkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula. Meski berdalih sudah menyelidiki kasus ini sejak tahun lalu dan memeriksa 90 saksi, Kejaksaan terlalu prematur menjebloskan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 itu ke dalam tahanan. Apalagi Kejaksaan belum mengantongi bukti solid yang menyatakan Tom Lembong menikmati duit hasil korupsi dari kebijakan yang ia buat sembilan tahun lalu itu. 

Wajar publik curiga ada politisasi kasus di balik penahanan Tom. Tak sedikit yang menduga bahwa kasus ini "pesanan" lawan politik Tom. Meski bukan anggota partai politik, Tom adalah Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar—lawan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka—dalam pemilihan presiden 2024. Selain itu, Tom pernah berorasi dalam aksi "darurat demokrasi" di depan gedung DPR menentang upaya revisi UU Pilkada pada Agustus lalu. (DPR saat itu berupaya menggagalkan Keputusan MK, terjadi demo besar-besaran, akhirnya DPR batalkan Revisi UU Pilkada -red)

Kejaksaan menetapkan Tom sebagai tersangka atas dasar kebijakan yang ia ambil sewaktu masih menjabat menteri. Jaksa menuduh Tom terlibat dalam pemberian izin impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada PT Angels Products untuk diolah menjadi gula kristal putih pada 2015. Jaksa menganggap izin impor itu dikeluarkan tanpa melalui rapat koordinasi dengan instansi lain. 

Penerbitan izin juga tak sesuai dengan ketentuan. Sebab, berdasarkan keputusan bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian Nomor 257 Tahun 2004, hanya badan usaha milik negara yang boleh mengimpor gula kristal mentah. Atas kebijakan tersebut, Tom dianggap merugikan negara sebesar Rp 400 miliar. 

Kesimpulan adanya kerugian negara belum cukup menjadi dasar bagi jaksa menjerat Tom. Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi—yang dipakai Jaksa menjerat Tom—menyebutkan penegak hukum selayaknya memiliki alat bukti sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka. Jaksa semestinya menelusuri ada-tidaknya keuntungan yang diterima Tom secara pribadi. 

Penetapan tersangka menjadi kuat bila ada aliran uang atau keuntungan yang diperoleh Tom dari penerbitan izin impor gula. Sejauh ini, Kejaksaan belum menemukan bukti tersebut.

Kasus ini juga penuh kejanggalan. Pertama, nilai Rp 400 miliar itu bukanlah kerugian riil. Angka tersebut berupa proyeksi keuntungan yang akan diperoleh perusahaan pelat merah jika impor dilakukan BUMN. Kedua, selain belum menemukan bukti bahwa Tom menikmati aliran dana dari "nilai kerugian negara", Kejaksaan belum bisa menunjukkan niat jahat (mens rea) Tom saat menerbitkan izin impor. 

Selain Tom Lembong, Kejaksaan menetapkan Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, sebagai tersangka. Charles dituduh memerintahkan anak buahnya mengatur impor gula dengan delapan perusahaan swasta. Kedelapan perusahaan itu lalu mengolah gula kristal mentah hasil impor menjadi gula kristal putih. 

Kejaksaan tak boleh tebang pilih mengungkap kasus ini. Mereka juga harus bisa menunjukkan bukti seterang-terangnya. Bila tak punya bukti yang solid, jaksa tak perlu memaksakan perkara ini ke pengadilan.

Sebaliknya, jika memang jaksa menemukan bukti bahwa Tom menerima keuntungan, ia pantas dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi. Tapi Kejaksaan tak boleh hanya berhenti pada Tom. Semua orang yang ada di pusaran impor gula harus ikut diperiksa. Termasuk empat Menteri Perdagangan setelah Tom, yang juga menerbitkan izin serupa.

Dengan mengungkap kasus ini hingga terang benderang, Kejaksaan dapat meyakinkan publik bahwa Korps Adhyaksa memang punya niat lurus untuk memberantas korupsi impor gula. Kejaksaan Agung harus menunjukkan diri sebagai lembaga penegak hukum, bukan lembaga yang bisa dikendalikan penguasa.

(*sumber: Koran TEMPO)

Share Artikel: