Rudal Iran dan Ilmu Sains Persia
(Oleh: Armahedi Mahzar)
Akhir-akhir ini sedikit mengikuti informasi peperangan antara Iran dan Israel. Tidak bermaksud agar terlihat menjadi pengamat. Hanya sekadar sebagai tambahan wawasan geopolitik yang saat ini sedang berkembang. Tidak pula untuk mengetahui dan berkomentar. Karena saya bukan kapasitasnya. Hanya saja beberapa bulan lalu, kebetulan pernah menulis seorang tokoh dari Iran.
Namanya Abu Muslim Al-Isfahani. Seorang tokoh Muktazilah, ahli bahasa, ahli ilmu kalam, dan ahli ilmu tafsir. Tokoh ini tidak begitu terkenal dalam tradisi keilmuan klasik. Di samping sebagai seorang intelektual, Abu Muslim juga merupakan tokoh politik. Ia pernah menjadi Gubernur Isfahan di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Muqtadir Billah — mohon koreksi jika keliru.
Isfahan, Iran, yang menjadi tempat lahir Abu Muslim, merupakan daerah yang sangat kuat tradisi keilmuannya setelah Baghdad. Dalam penulisan biografinya itu, saya menemukan fakta bahwa Isfahan pernah menjadi ibu kota Dinasti Seljuk. Bahkan dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Ibnu Sina pernah menimba ilmu di daerah ini.
Dalam polemik perang antara Iran dan Israel, saya menemukan korelasi yang menarik dengan penelusuran yang saya lakukan atas daerah Isfahan, tempat lahir Abu Muslim ini: secara geografis, Iran adalah Persia masa lalu, sementara Irak adalah Baghdad. Kendati sebelum Abbasiyah berkuasa, Baghdad adalah bagian dari wilayah Iran.
Isfahan sendiri adalah salah satu nama daerah di Persia. Menariknya, nama Isfahan ini tetap digunakan di Iran sebagai sebuah nama kota hingga sekarang. Saya tidak tahu secara pasti apakah Isfahan masa lalu dan Isfahan masa kini berada di titik yang sama secara geografis. Tetapi keberlanjutan nama ini menjadi titik refleksi atas sejarah Iran.
Informasi bahwa Isfahan pernah menjadi ibu kota Seljuk, serta menjadi pusat keilmuan, memiliki makna sejarah yang tidak bisa dilupakan atas kontribusinya dalam perkembangan peradaban. Tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga dalam bidang sains dan filsafat.
Dalam peperangan antara Iran dan Israel akhir-akhir ini, rudal-rudal Iran memantik ingatan saya terkait kecanggihan dan kecerdasan orang Persia dalam bidang sains.
Saat banyak kalangan internal Islam melihat Iran hanya sebagai negara bersekte Syi’ah—dan sering disebut sebagai lumbung tersebarnya aliran yang dianggap sesat—kita lupa bahwa di baliknya terdapat warisan keilmuan dan kemajuan teknologi yang tidak bisa diabaikan.
Iran, dalam sejarahnya, bukan sekadar wilayah konflik atau pusat perlawanan ideologis terhadap Barat. Ia adalah tanah yang sejak dulu menjadi rahim peradaban ilmu. Di bidang filsafat, kita mengenal Mulla Sadra; di kedokteran, ada Ibnu Sina; di astronomi dan matematika, ada Omar Khayyam. Semuanya adalah sosok-sosok yang tumbuh di atmosfer keilmuan Persia yang terbuka dan rasional.
Yang menyedihkan, warisan besar ini kerap tertutup oleh stigma keagamaan. Banyak dari kita terlalu cepat menolak segala sesuatu dari Iran hanya karena ia identik dengan Syi’ah. Padahal, ilmu tidak mengenal mazhab. Para ulama besar dalam sejarah Islam—baik Sunni maupun Syi’ah—pernah duduk di majelis yang sama, berdiskusi, mengkritik, dan saling mengisi.
Beberapa tahun belakangan, Iran menjadi negara dengan publikasi ilmiah terbanyak di Timur Tengah, khususnya dalam bidang teknik kemiliteran dan teknologi nuklir. Ini bukan hasil semalam. Ini adalah lanjutan dari semangat ilmiah yang hidup sejak zaman klasik. Sayangnya, capaian ini sering diabaikan hanya karena datang dari negeri yang kita cap sebagai “berbeda.”
Kita boleh berbeda akidah. Kita boleh menolak ajaran tertentu yang tidak sesuai dengan prinsip kita. Tapi menolak ilmu hanya karena perbedaan mazhab adalah bentuk ketidakadilan intelektual. Kita bisa mengkritik Syi’ah, tapi tetap mengapresiasi kontribusi keilmuan yang mereka wariskan.
Rudal-rudal Iran hari ini bukan sekadar senjata. Ia adalah manifestasi dari tradisi panjang ilmu pengetahuan yang hidup dan berkembang di negeri yang dahulu disebut Persia. Negeri yang pernah melahirkan Abu Muslim, Ibnu Sina, dan para pemikir besar lainnya. Dan sebagai bagian dari umat Islam, kita tidak semestinya menutup mata terhadap jejak sejarah itu—hanya karena perbedaan pandangan.
(fb)
Boom Boom Tel Aviv 🚀💥 pic.twitter.com/DsCXmXcE9p
— Iran Military ( Commentary) (@IranMilitary_ir) June 19, 2025
THE MOMENT FATTAH-1 HYPERSONIC MISSILE STRUCK HAIFA pic.twitter.com/u0gWQD6yLh
— Iran Observer (@IranObserver0) June 14, 2025
Tel Aviv Stock Exchange building after Iran's missile strike this morning. pic.twitter.com/q5TDp9P0qa
— Clash Report (@clashreport) June 19, 2025
More footage of the situation in Tel-Aviv pic.twitter.com/uKwh9BJY7I
— 👑 Royal Intel (@RoyalIntel_) June 19, 2025