Anies Ditekan, Anies Melawan


Anies Ditekan, Anies Melawan

Oleh: Dr Tony Rosyid
(Pengamat Politik/ Direktur Graha Insan Cendikia dan Ketua FASS Jabodetabek)

Dimanapun negara, niscaya berat bila berseberangan dengan penguasa dan taipan. Berani dikit, posisi sanggup dilengserkan. Apalagi kalau salah kelola anggaran, atau main perempuan. Tak jarang ada yang dibiarkan jadi "sandra" atau malah "tahanan". Kadang-kadang tanpa proses persidangan. Alasannya: makar dan negara terancam. "Klise". Apalagi kalau bawa-bawa istilah anti pancasila dan anti kebhinekaan, makin sempurnalah sebuah tuduhan.

Ketua-ketua partai dan para pimpinan tempat seringkali tak luput dari bidikan. Sikap represif ini ada semenjak zaman Orla, Orba, dan hingga kini secara turun temurun diwariskan. Hanya beda kadar dan ukuran. Ada yang sembunyi-sembunyi dengan bermacam-macam kemasan, ada pula yang terang-terangan. Malah ada yang cenderung dipertontonkan.

Apakah tindakan represif ini juga dirasakan Gubernur dan Wagub DKI, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Shalahudin Uno?

Kabar yang banyak beredar, Anies juga sering jadi sasaran dan pernah ditekan. Anies takut? Semula memang banyak pihak meragukan. Anies dianggap tak punya ketegasan, apalagi berada di bawah ancaman. Lelaki yang dibesarkan di Jogja dengan tata krama dan sopan santun ala Jawa ini tak punya wajah garang. Dibanding gubernur sebelumnya, tentu kalah seram. Vokal suaranya tak lantang. Lebih nampak sebagai pemikir yang mengumbar senyuman.

Setelah Anies tutup Alexis, masyarakat mulai bimbang: punya nyali juga rupanya. Tidak disangka, perilaku pendiam rupanya menghanyutkan. Sampai disini Anies mulai melaksanakan pembuktian. Orang belum yakin sepenuhnya. Publik pun menunjukkan, di luar Alexis, ada Alexis-Alexis lain yang harus diburu dan dibekukan. Publik berharap Anies-Sandi sanggup membuktikannya lagi. Jika tidak, maka publik akan bilang: itu cuma pencitraan.

Memang, sebagian orang masih bilang: itu pencitraan. Terutama mereka yang belum sanggup "move on" dari kekalahan. Ini biasa, masuk akal dan harus dimaklumi. Dalam politik ada luka. Tidak setiap luka sanggup cepat untuk disembuhkan. Apalagi, setiap orang juga berbeda dalam menciptakan ukuran kepercayaan. Mereka mesti dirangkul dan diberi pengertian.

Ditengah keraguan sebagian orang, Anies kembali menciptakan kejutaan. Kali ini, giliran lahan R.S. Sumber Waras. BPK mencatat, transaksi pembelian lahan ini terbukti merugikan. Negara kehilangan 191,33 milyar. Lumayan besar. Sempat Ahok dan sejumlah orang dipanggil KPK. Habis itu, masalah seolah dilupakan. Jejaknya lenyap dari informasi media. Publik sempat curiga: ada kekuatan yang sedang mengendalikan. BPK mustahil salah.

KPK berdalih: tak ada niat jahat di masalah ini. Publik makin curiga. Bagaimana tidak ada niat jahat, sementara pembayaran dilakukan secara cash. Ratusan milyar cash? Aneh! Ada suatu keganjilan. Gegara masalah ini, Kredibiltas KPK mulai dipertanyakan. Masyarakat bilang: KPK masuk perangkap permainan.

Untuk efektifitas pencegahan dan pemberantasan korupsi, Anies membentuk KPK sendiri, KPK DKI. Hanya seolah-olah fungsi dengan KPK yang sudah ada, tapi beda wewenang. Bersama KPK DKI yang gres ini, Anies minta Wagub merampungkan masalah jual beli lahan Sumber Waras. Harus tetap diusut dan dituntaskan. Bambang Widjajanto, mantan wakil ketua KPK, dan Ogoeseno, bekas wakapolri ini bersama timnya menerima kiprah untuk mendampingi. Dengan melibatkan tim aturan ini, Anies nampak punya keseriusan dalam menangani permasalah korupsi di DKI.

Pihak Sumber Waras diberi dua pilihan: kembalikan 191,33 milyar ke negara, atau jual beli dibatalkan. Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) sebagai penjual lahan berdalih: tak ada dasar untuk mengembalikan. Jika demikian, opsinya ialah pembatalan.

Veronica Tan, istri Ahok yang diduga terlibat keburu mau diceraikan. Adakah hubungannya? Ahli aturan Djoko Edy Abdurrahman, wasek LPBH PBNU sudah mulai mengkait-kaitkan. Tulisannya yang viral di medsos (jika benar) berupaya menciptakan budi kausalitasnya. Sangat "tidak etis" dibicarakan kalau memang tidak ada kaitan. Tapi, posisi Veronika Tan ialah ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah DKI ketika itu. Oleh KPK dianggap ikut terlibat dalam proses jual beli lahan R.S Sumber Waras. Faktor ini yang mendorong orang kemudian mengkait-kaitkan.

Kasus Sumber Waras sedang dalam proses untuk diselesaikan, Anies lagi-lagi menciptakan kebijakan mengagetkan: Hak Guna Bangunan (HGB) pulau reklamasi dibatalkan. Semua surat pengajuan ke BPN ditarik kembali. Segala bentuk pembangunan dan acara apapun harus dihentikan. Apa dasarnya? Prosedur penerbitan HGB telah menabrak banyak aturan. Perda belum jadi, HGB sudah diterbitkan. Khususnya pulau D, HGB terbit sehari sesudah pengukuran. Pulau seluas 483,6 ha diukur tanggal 23 agustus 2017, tanggal 24 sudah diterbitkan. Ini sungguh keterlaluan.

Pembatalan HGB berlaku untuk semua pulau B,C,D dan G. Publik tak menyangka Anies berani melaksanakan itu. Gila! Dengan begitu Anies mesti siap-siap berhadapan dengan sejumlah taipan, termasuk Aguan.

Di mata publik, keberanian ini memberi kredit poin kepada gubernur dan wagub gres ini. Pasalnya, nyali ini dibuktikan berani berhadapan dengan taipan yang selama ini dicurigai menjadi bohir dibalik kekuasaan. Saat LBP dikonfirmasi media, ia menjawab: itu hak gubernur Jakarta. Luhut tak segarang sebelumnya.

Dirunut dari sejarah awalnya, reklamasi ialah proyek lama. Pergub pertama dibentuk oleh gubernur Jokowi. Lalu dimulai pembangunan ketika Ahok jadi gubernur menggantikan Jokowi. Banyak protes, tapi tak digubris. Tangan-tangan kekuasaan diduga "back up" di belakang.

Saat Rizal Ramli diangkat jadi menko maritim, moratorium dibuat. Kesimpulannya: banyak problem dan berdampak besar kalau reklamasi diteruskan. Tak usang kemudian, sang menteri dipecat dan diganti Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, moratorium dibatalkan. Dengan bersemangat menko laut yang gres ini bilang: reklamasi dilanjutkan.

Beberapa hari sebelum Anies-Sandi dilantik, rancangan Peraturan Daerah reklamasi sudah diajukan ke DPRD. Saat itu, Djarot Saiful Hidayat gubernurnya. Salah seorang menteri pun kabarnya memanggil Sandiaga Uno dan memberi ancaman. Sang menteri akan mencari-cari kesalahan kalau Sandi berani hentikan reklamasi. Sandi gentar? Rupanya tidak.

Belum sempat Peraturan Daerah reklamasi itu disahkan, Anies-Sandi buru-buru menghentikan. Keputusan diambil tak usang sesudah pelantikan. Ancaman diabaikan. Sang menteri tak berkutik dan diam. Memang, proses ini cukup dramatis dan menegangkan.

Sampai disini, rasanya tidak bijak kalau ada yang masih menyebut pencitraan. Beda pembuktian dengan pencitraan. Pencitraan itu cirinya: pertama, ada kesan dibuat-buat dan penuh kepura-puraan. Yang terlihat berbeda dari yang sebenarnya. Tak sama antara panggung depan dengan panggung belakang. Berita media jauh beda dengan kenyataan.

Kedua, ujung-ujungnya tidak ada pembuktian. Karena itu bukan program, tapi branding dan jualan. Hanya sekedar untuk iklan dan magnet mendatangkan pujian. Rakyat mesti peka: mana janji, mana bukti. Ini sanggup jadi alat ukur melihat pemimpin dan penguasa.

Ketiga, biasanya berkaitan dengan hal-hal kecil, remeh temeh, dan sederhana. Blusukan, cara berpakaian, tampil sederhana untuk iklan kebersahajaan. Atau sekedar marah-marah dan gebrak meja. Semua hal tak penting yang kira-kira sanggup jadi magnet perhatian. Itu namanya pencitraan.

Banyak orang tertipu dan jadi korban pemimpin yang hanya sibuk menciptakan pencitraan. Di media bilang A, di lapangan melaksanakan B. Saatnya rakyat mesti dicerdaskan. Rasio dan bukti mesti diutamakan. Anies-Sandi punya kiprah untuk itu.

Pembatalan reklamasi ialah keputusan berisiko, apalagi hingga berkelahi nyali lawan taipan, bahkan kekuasaan. Hanya "orang gila" yang melaksanakan ini untuk bermain-main dengan pencitraan.

Rupanya, Anies memang tidak sanggup diancam. Semakin ia ditekan, semakin ia melawan. Begitu pula dengan Sandi. Beginilah mestinya keberanian seorang pemimpin, bukan cari pencitraan, tapi sibuk membuktikan. Soal ini, Anies sanggup jadi wangsit dan panutan.

Jakarta, 10/1/2018

(Sumber: Kumparan)


Share Artikel: