Tere Liye: Belajarlah Sejarah! Pedoman Agama Islam Bukan Materi Olok-Olokan, Tapi Pengusir Penjajah


Belajarlah sejarah!

Jenderal yang satu ini, ‘merajai’ seluruh kota-kota di Indonesia. Tengok nama jalan paling besar, paling penting di kota-kota Indonesia? Dua pertiga dari itu diberikan nama ‘Jalan Jenderal Sudirman’. Namanya mahsyur dari ujung ke ujung. Seorang jagoan yang hidup mati berperang melawan penjajah Belanda.

Soedirman kecil yaitu anak yang taat agama dan senantiasa menegakkan shalat. Dia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat. Ilmu agamanya mendalam, bahkan teman-temannya pun sering memanggil dia ‘Haji’--padahal dia belum naik haji. Dia aktif dalam kepanduan Hizbhul Wathan Muhammadiyah. Dia juga pernah jadi guru di sekolah Muhammadiyah, sebelum masuk militer. Wah, tak disangka, ‘Pak Guru’ Soedirman, besok lusa memimpin perang gerilya melawan Belanda. Di kamusnya, tidak ada kata ‘mengalah’ pada penjajah. Jenderal Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR (TNI ketika ini) pada tanggal 18 Desember 1945. Usianya gres 29 tahun ketika itu.

Adalah Jenderal Soedirman yang mengirim A.H. Nasution untuk menumpas pengkhianatan Muso (pemberontakan komunis tahun 1948). Repot sekali memang jaman itu, kita masih menghadapi Belanda, eh, ada yang menikam dari belakang. Bukannya sesungguhnya melawan penjajah, malah berkhianat. Beres urusan komunis, Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militernya, hendak menguasai kembali sepenuhnya Indonesia. Sejak ketika itu, tidak terima dengan ultimatum penjajah, Jenderal Soedirman melancarkan perang gerilya yang akan terus dikenang. Dalam kondisi sakit TBC, dia keluar masuk hutan, melawan serdadu Belanda. Bahu-membahu bersama rakyat, tentara, santri, perlawanan terus dilakukan. Kalian dapat membaca cerita ini lebih lengkap di buku-buku sejarah.

Jenderal Soedirman wafat di usia yang sangat muda tahun 1950, sesudah Belanda mengakui eksistensi Indonesia. Beliau wafat di usia 34 tahun. Tapi jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak terbilang. Anak muda yang rajin mengikuti pengajian itu --para sesepuh kampung Kauman Yogyakarta menyaksikannya, wafat dengan diantar ribuan warga. Ada banyak catatan yang menunjukkan, betapa kader Muhammadiyah yg satu ini, rajin mengutip Al Qur’an ketika menggelorakan semangat perlawanan pasukannya. Bagi ‘Pak Guru’ Soedirman: “Hidup mulia atau mati syahid”. Berdiri di depan dia, memimpin perlawanan, meneriakkan takbir ke udara.


Kenanglah insiden ini, Kawan: Tahun 1946, ‘Pak Guru’ Soedirman mengunjungi laskar Hisbullah-Sabilillah Surakarta yang sedang mempersiapkan kembali maju ke medan perang. Saat diadakan pertemuan di Surakarta, Pak Guru Sudirman mengawali kata sambutannya dengan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, Ash-Shaf ayat 10-12 yang lalu diterjemahkannya sendiri, “Hai orang-orang yang beriman, maukah kau Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelamatkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu, kau beriman kepada Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Yang Mahakuasa dengan harta dan jiwamu...”

Sekali lagi, inilah bukti tak terbantahkan bahwa teriakan takbir, pedoman agama Islam, tidak dipenuhi kebencian. Itu bukan teriakan teroris. Kalimat tauhid bukan pedoman penjahat. Bacalah sejarah bangsa ini, kita akan mengetahui, itu yaitu pengobar semangat tiada tara melawan penjajahan. Jangan sampai, kita malah risih, ilfil, kesal, aneh, terasing ketika takbir diteriakkan. Apalagi hingga mengakibatkan takbir "Allahuakbar" sebagai materi lelucon, stand up comedy, diolok-olok. Karena kalimat itulah yang diteriakkan oleh sebagian besar (mayoritas) para pejuang kemerdekaan dulu. Tanpa mereka, boleh jadi kita tidak akan menikmati semua kemudahan, kenyamanan hari ini.

Belajarlah sejarah.

09-01-2018

(Tere Liye)

___
*dari fb Tere Liye


Share Artikel: