KARMA NU?


Kegiatan Harlah NU yang rencananya digelar di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta pada Kamis, 5 Maret 2020 mendapatkan penolakan dari Pemuda Muhammadiyah Kota Yogyakarta dan oknum warga Kauman.

Spanduk-spanduk penolakan pun bermunculan.

Usut punya usut, penolakan itu dikarenakan kehadiran Muwafiq sebagai pengisi pengajiannya. Muwafiq adalah ulama yang dianggap menghina Nabi dalam penyampaiannya pada acara pengajian beberapa waktu lalu.

Dari apa yang terlihat sejauh ini, Muhammadyah biasanya sangat humble dalam kehidupan sosial mereka. Organisasi sayap maupun kepemudaan mereka tidak mau menonjolkan diri. Begitupun warga Muhammadyah, selaras dengan karakter pimpinan Muhammadyah yang terkesan adem.

Lebih memilih diam daripada mengeruhkan suasana. Ikut bicara ketika sudah bersinggungan dengan agama.

Namun, mereka mempunyai ketegasan dalam memandang sesuatu yang berkaitan dengan ketidak adilan dan masalah krusial tentang agama islam.

Saat melihat adanya hinaan pada Nabi Muhammad, mereka akan bereaksi keras.

Tegas dan keras adalah sikap warga Muhammadyah pada seorang yang dianggap melecehkan Nabi Muhammad SAW. Siapapun dia, harus mempertanggung jawabkan semua hinaannya.

Dan itulah yang terjadi saat Harlah NU yang semulanya akan berlangsung di Jogja. Begitu tau yang mengisi acaranya adalah sosok kontraversi yang pernah bermasalah dengan ucapannya, sekelompok masyarakat Muhammadiyah bersikap tegas.

Ini bentuk reaksi atas apa yang pernah terjadi. Pada dasarnya, hanya sosok itu yang dimasalahkan. Bukan acaranya secara spesifik. Tidak ada masalah atau perseteruan antara NU dan Muhammadyah. Di kehidupan bermasyarakat pun warga Muhammadyah dan NU saling berdampingan dengan damai.

Sangat disayangkan, NU abai dalam memilah tokoh untuk mengisi acara tahunan yang mereka anggap sakral. Sebanyak itu ulama NU, mengapa Muwafiq yang terpilih?

Apakah tidak ada ulama lain yang mumpuni di NU sehingga harus mendatangkan Muwafiq sebagai bintang tamunya? Disini kesalahan NU yang mengabaikan perasaan umat atas perkataan Muwafiq beberapa waktu lalu.

Benar dirinya telah meminta maaf, namun apa yang terjadi tidak bisa dilupakan. Ibarat keramik yang telah pecah, mungkin ia bisa ditautkan kembali menggunakan lem. Namun, rupanya tidak akan sama seperti semula.

Ketika abai atas perasaan umat, maka inilah hasilnya.

Mungkin ini yang dinamakan Karma.

Sepanjang 5 tahun lalu, pemberitaan nasional kerap diramaikan tentang aksi pelarangan dan penghadangan atas sebuah pengajian. Ustad Felix, Khalid Basalamah maupun UAS kerap mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan atas acara yang menghadirkan mereka. Berada ditempat tertutup maupun terbuka, selalu saja ada gangguan yang meminta dibubarkan.

Yang melakukan adalah oknum2 NU yang bangga mengatakan Pancasila dan NKRI harga mati. Persekusi, intimidasi dengan alasan radikal selalu keluar sebagai bentuk pelarangan.

Sekarang, bagaimana jika situasi itu dibalik? Mereka yang mengaku besar, mengaku pengikut sampai ratusan juta harus alami kejadian yang sama dialami oleh Ustad Felix, Basalamah dan UAS.

Berjiwa besar seperti perkataan anak Gusdur ini  adalah bahasa semu yang terlontar. Jauh dibalik itu, sebenarnya ada tamparan bagi NU. Sebuah ormas terbesar, harus terusir karena tidak dianggap besar oleh pihak lain yang mereka anggap kecil.

Sebuah kesombongan dibayar tunai.

Semoga ada perbaikan kedepannya, menjadikan kejadian sebagai kiblat ilmu. Agar tidak terulang kembali arogansi dan kedangkalan berpikir dalam komunitas yang dibanggakan.

(By Setiawan Budi)



Share Artikel: