JAMAN EDAN
JAMAN EDAN
Sebagai ayah dari empat orang gadis, tiba-tiba saya menjadi khawatir. Rasa khawatir itu tidak lepas dari dua fenomena yang baru saja muncul. Apakah itu?
Pertama, peristiwa aksi terorisme yang dilakukan oleh seorang gadis. Saya lebih melihat gadis tersebut sebagai korban atas doktrinasi atau misi tertentu. Dalam hal ini, saya tidak mau berspekulasi siapa sesungguhnya yang berada di belakang aksi tersebut.
Siapapun pihak yang menjadi dalang aksi terorisme, apakah kepentingan politik atau lainnya, namun gadis itu telah meninggal sia-sia. Kematian yang sangat konyol. Meski tentu saja pelakunya beranggapan sedang melakukan tugas mulia, versi mereka.
Sekali lagi, lepas siapa dibalik semua aksi tersebut, nyatanya ada seorang gadis yang melakukannya. Dia bukan robot yang dikontrol atau dikendalikan. Namun pelakunya adalah manusia, yang berbuat dengan kesadarannya.
Artinya, na'udzubillahi mindzalika, aksi semacam itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Mereka yang telah tercuci otaknya. Bahkan dalam tempo yang mungkin tidak terlalu lama. Dus, bisa menimpa anak siapa saja.
Fenomena yang kedua, di wall fesbuk tiba-tiba muncul iklan podcast om Deddy Corbuzier. Kali ini bukan tentang Dewa Kipas dan urusan percaturan. Namun tentang dua perempuan muda yang akan menikah (sesama jenis).
Saya tidak sempat menyaksikan podcast tersebut sampai akhir. Namun yang memprihatinkan, fenomena itu seakan-akan sudah dianggap biasa oleh sebagian kalangan. Ngeri sekali!
Kemudian ketika ditanya bagaimana tanggapan bokap nyokap? Mereka menjawab, ya akhirnya bokap nyokap menerima, mau bagaimana lagi. Astaghfirullah.
Patut diduga, fenomena ini sudah seperti gunung es. Dimana kejadiannya bisa jadi jauh lebih banyak, dibandingkan dengan fenomena yang nampak. Artinya bisa menyasar siapa saja. Na'udzubillah.
Sebagai orang tua, tentunya kita semua ingin melindungi anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan seperti itu. Menjadi korban atas kepentingan orang atau pihak lain. Karenanya orang tua perlu memastikan proses pendidikan atas anak-anaknya.
Syarat utama dari proses pendidikan kepada anak adalah keterhubungan. Dimana anak merasakan hubungan dengan orang tuanya adalah yang paling nyaman. Sehingga ketika ada hal-hal yang perlu ditanyakan, dikeluhkan, dicurhatkan mereka tidak perlu pergi kepada orang lain. Anak-anak cukup datang kepada kedua orangtuanya.
Memberikan stigma hitam putih kepada fenomena penyimpangan seperti di atas tentu bukan pilihan terbaik dalam berkomunikasi dengan anak. Terlebih kepada anak yang mulai menginjak remaja. Mendialogkan dengan mendalam, untuk membangun padangan dan sikap yang jelas, sepertinya akan lebih tepat.
Sehingga anak tidak lagi penasaran, namun justru lebih mengerti sebab apa fenomena semacam itu terjadi. Bahkan bila perlu bisa ikut ambil bagian untuk memberikan kesadaran kepada teman-temannya sehingga memiliki immunitas yang kuat.
Hanya saja, tidak sedikit orang tua yang kehabisan waktu dan energi untuk membangun keterhubungan dengan anak. Hari-hari sudah habis digunakan untuk bekerja mencari uang. Karena toh pendidikan anak-anak juga butuh biaya tinggi.
Orang tua kadang terjebak pada persepsi tugas orang tua hanyalan mencari uang. Sementara pendidikan adalah tugas guru dan sekolah. Padahal anak-anak, selalu merindukan kehangatan orang tua mereka. Sebagai sahabat dalam tumbuh dan berkembang di tengah jaman yang kian edan.
Semoga kita diberikan kemampuan untuk membangun hubungan yang hangat dengan anak-anak. Aamiin.
By Setiya
(02.04.2021)