Teror Berulang Bom Bunuh Diri

TEROR bom bunuh diri di markas kepolisian menunjukkan pendekatan keamanan dan hukum tidak  Teror Berulang Bom Bunuh Diri
[Editorial Koran TEMPO]
Teror Berulang Bom Bunuh Diri

TEROR bom bunuh diri di markas kepolisian menunjukkan pendekatan keamanan dan hukum tidak sepenuhnya mampu menangani terorisme di Indonesia. Pendekatan keamanan dan hukum itu justru menguatkan kebencian mereka terhadap negara.

Inilah yang terjadi dalam serangan bom bunuh diri di Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat, Senin, 7 Desember 2022. Pelakunya adalah Agus Sujatno. Anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) ini adalah bekas narapidana terorisme yang terlibat dalam kasus bom panci di Cicendo, Bandung, pada 2017. Sebagai perakit bom, ia diciduk lalu dipenjara selama 4 tahun.

Dengan profil seperti itu, timbul pertanyaan: apa yang diperbuat penegak hukum kepada orang yang lihai merakit bom selama di penjara sehingga, begitu keluar, ia melancarkan aksinya kembali? Ini berarti ada yang keliru dari pendekatan keamanan yang digunakan pemerintah dalam menangani terorisme.

Saban tahun, teror bom berulang. Pemerintah seolah-olah tak pernah belajar dalam menangani terorisme. Pendekatan yang digunakan—setidaknya yang muncul ke publik—selalu keamanan: ciduk lalu penjarakan. Pada 2021, misalnya, Detasemen Khusus 88 menangkap 370 orang terduga teroris. Jumlah itu melonjak lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya. Jika pemerintah masih menggunakan pola keamanan, bukan tak mungkin pelaku teror semacam Agus muncul lagi di kemudian hari. 

Setelah serangan 11 September 2001 yang menewaskan ribuan orang di Amerika Serikat, terorisme menjadi isu global. Bahkan pemerintah Amerika Serikat menginvasi Irak menggunakan isu terorisme. Di banyak tempat, terorisme menjadi semacam "komoditas", tanpa pernah ditemukan akar persoalan dari fenomena tersebut.  

Dalam beberapa kajian, akar gerakan terorisme bukan semata-mata karena fanatisme terhadap agama atau ditujukan kepada kaum fundamentalis ajaran tertentu. Gerakan terorisme bisa lahir dari semua kelompok, baik fundamentalis maupun liberalis, ketika gejala otoritarian menguat atau ada ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi serta perampasan sumber daya alam.

Persoalan itu dicampur dengan begitu mudahnya mengakses teknologi, sehingga menyuburkan aksi lone wolf atau bunuh diri secara independen, tanpa baiat atau terikat organisasi tertentu. Pelaku lone wolf biasanya anak muda, melek teknologi, dan kaum urban. Peristiwa penyerangan Mabes Polri pada April 2021 merupakan salah satunya.

Kalau persoalannya ekonomi yang menjadi pemicu, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan ekonomi dalam menanggulangi terorisme, bukan keamanan ataupun hukum. Menciptakan kantong-kantong ekonomi baru untuk meminimalkan ketimpangan bisa menjadi salah satu solusi.

Namun bila akarnya adalah kehilangan empati atau mati rasa, ada masalah dalam cara kita menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Di perkotaan, sifat individualistis kian meningkat, meninggalkan budaya gotong royong. 

Sedangkan kalau akar persoalannya adalah gejala otoritarian yang menguat, problemnya ada di penguasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan tertentu. Jika merujuk pada definisi itu, penguasa pun memiliki peluang menciptakan teror demi melanggengkan kekuasaan.

Teror bom bunuh diri akan terus berulang bila pemerintah keliru mengidentifikasi akar persoalan terorisme.  

[Sumber: Koran TEMPO, Jumat, 9 Desember 2022]

Share Artikel: