Makar Zaman Now, Sebuah Alat Untuk Bungkam Si Tukang Kritik


[PORTAL-ISLAM.ID]  Ditangkapnya sejumlah penggagas pada Desember tahun kemudian menjadikan ‘makar’ sebagai alat gres bagi penguasa untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

Paradigma yang muncul di masyarakat terhadap makar secara definitif sepertinya berbeda dengan makar dalam aturan negara. Pengaitan makar dengan ‘kudeta’ muncul ketika penangkapan tokoh-tokoh dilakukan sempurna sesudah aksi-aksi masa yang menkritik pemerintah ramai dilakukan. Apalagi tokoh-tokoh tersebut dianggap sebagai penggerak aksi.

Efek demonstrasi besar 4 November, 25 November dan 2 Desember menjadikan istilah ‘makar’ sering diucap tokoh negara. Makar sendiri dalam KBBI berarti perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Sementara perebutan kekuasaan dalam kamus tersebut berarti perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa.

Keduanya mempunyai definisi yang mirip. Namun ada perbedaan di antara kedua istilah ini. Definisi makar ternyata juga ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai kejahatan terhadap keamanan negara, pada Pasal 104, 107 dan 108. Hukumannya yaitu eksekusi mati.

Kudeta merupakan istilah politik, sementara makar yaitu istilah yang merujuk pada ranah hukum. Sebelum rencana demonstrasi besar-besaran akan dilakukan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo merasa akan ada rencana makar di balik demonstrasi yang akan dilakukan aneka macam organisasi massa pada 25 November dan 2 Desember.

Beberapa tokoh pun dipolisikan dengan tuduhan makar, diantaranya Kivlan Zein, Ahmad Dhani, Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Serumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Aditya Warman, Firza Husein, Rizal Kobar, dan masih banyak yang lainnya.

Adik kandung Megawati, Rachmawati Soekarnoputri menolak tuduhan kepolisian yang menyebut mereka melaksanakan permufakatan makar untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Kuasa aturan Rachmawati dan Ratna Serumpaet, Yusril Ihza Mahendra yang juga merupakan pakar aturan menyampaikan bahwa sangat berbeda antara makar dengan kritik.

“Kalau hingga pelaksanaan makar, masih jauh. Dan bahwa mereka mengadakan rapat-rapat, pertemuan, mengkritik pemerintah, itu normal-normal saja,” kata Yusril Ihza Mahendra.

Hingga sekarang penangkapan tokoh-tokoh yang ulet melaksanakan kritik terhadap pemerintah terus terjadi. tuduhannya sama, yakni melaksanakan makar aatau upaya menggulingkan pemerintah.

Pada April lalu, pegawapemerintah kepolisian menangkap Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad al-Khaththath atas dugaan makar. Pembina GNPF MUI KH Abdur Rosyid Abdullah Syafi’i menilai, tuduhan makar terang mengada-ada dan penahanan terhadap ulama bentuk kezaliman.

Rossyid menyampaikan bahwa kasus penangkapan dan penahanan KH Muhammad Khaththath selaku pimpinan agresi 313 sekaligus Sekjen FUI dengan tuduhan makar merupakan bentuk penggunaan aturan sebagai instrumen of Power yang sama sekali tidak berkeadilan.

Secara substantif maupun secara formal aksi-aksi yang dilakukan merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi dan UU di Negara Indonesia. Sebuah unjuk rasa bukanlah upaya pemufakatan untuk melaksanakan makar atau menggulingkan pemerintah.

Aksi-aksi tersebut juga tidak melanggar UU apa pun. Justru agresi digelar untuk meminta kepada pemerintahan yang sah supaya pemerintah menegakkan aturan terhadap terhadap terdakwa kasus penistaan agama.

Para habaib, alim ulama, pimpinan ormas, dan penggagas Islam meminta supaya tokoh-tokoh yang ditangkap alasannya yaitu tuduhan makar dibebaskan dari tahanan.Hak-hak dasar mereka sebagai warga negara diminta tidak dikurangi atau dihalangi. Seperti hak menjalankan ibadah, hak dikunjungi keluarga dan hak konsultasi aturan dihentikan dihalangi dan dikurangi.

Terlalu Luas

Makna makar yang terkandung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai pakar terlalu luas.Hal ini berpotensi menjadikan terjadinya pelanggaran hak asasi insan yang telah dilindungi oleh UUD 1945. Pendapat ini disampaikan Guru besar Fakultas Filsafat Hukum dan HAM dari Universitas Cendrawasih, Jayapura, Melkias Hetharia dalam sidang uji bahan yang digelar di Mahkamah Konstitusi.

Istilah makar dalam kitab undang-undang hukum pidana diterjemahkan dari istilah aanslagh dalam bahasa Belanda yang artinya penyerangan. Kemudian dalam bahasa Indonesia, diartikan sangat luas dan tidak sejalan dengan arti aanslagh.

Ketentuan makar juga dinilai tidak sesuai dengan ketentuan HAM internasional alasannya yaitu berpotensi untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi. Pada tahun 1999 Dewan HAM PBB telah memberikan pasal makar bermasalah ketika berkunjung ke Indonesia. Hal itu juga disampaikan ketika Laporan Review Periode Universal (UPR) HAM tahunan Indonesia.

Peneliti Amnesty International Papang Hidayat mengatakan, pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam memakai perspektif HAM. Sebagai negara demokrasi yang mengedepankan HAM, Indonesia tidak menghargai rekomendasi tubuh HAM internasional.

“Sudah dinyatakan bermasalah. Kan seharusnya Indonesia merevisi ketentuan makar sesuai dengan standar HAM internasional,” kata Papang.

Undang-undang yang mengatur kejahatan makar seharusnya berisikan soal pencegahan, deteksi dini, dan unsur-unsur yang sanggup dikenakan dalam tindak pidana itu. Definisi makar itu harus dipertegas kembali dan harus dibedakan dengan orang yang mengkritik atau memberikan aspirasi terhadap pemerintah atau DPR.

Orde Lama pernah memberlakukan UU Nomor 11/PNPS/1963 perihal Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang kemudian tetap diberlakukan Orde Baru. Namun kondisi pada ketika itu yaitu revolusi dan konflik daerah Asia Tenggara serta dunia.

Tren penggunaan pasal makar sebelum menempel pada penggagas islam, dikenakan juga pada penggagas Papua dan Ambon yang ingin menyatakan referendum untuk memisahkan diri dari Indonesia. Kini instrumen aturan tersebut dipakai kepada masyarakat yang mengkritik pemerintah.

Sumber: PolitikToday
Share Artikel: