Lima Gaya Khalifah Umar Bin Khattab Dalam Memimpin


[PORTAL-ISLAM.ID] MENJADI pemimpin bukanlah masalah mudah, selain diharapkan leadership, dalam Islam, pemimpin juga harus besar lengan berkuasa kepercayaan dan takwanya, sehingga sanggup menjadi rujukan dan benar-benar sanggup bekerja sebagai pelayan rakyat, bukan penikmat kekayaan rakyat.

Ketika seorang pemimpin tidak menguatkan kepercayaan dan takwanya, maka ia akan berada dalam situasi tertekan oleh banyak sekali kepentingan, pada dikala yang sama rasa cinta terhadap bangku jabatan kian menguat.

Di dikala ibarat itulah biasanya seorang pemimpin tidak mau lagi berpikir lurus di jalan lurus. Akibatnya, segala macam kebijakannya senantiasa berbau rasionalisasi. Sebab, hakikatnya memang bukan rakyat yang mau dilayani, tetapi kekuatan lain yang sangat ditakuti. Di sinilah kemudian istilah pencitraan menjadi keniscayaan bagi mereka yang sangat berkeinginan dengan bangku jabatan.

Dalam bukunya, Khulafaur Rasul Shallallahu Alayhi Wasallam, Syeikh Khalid Muhammad Khalid menjabarkan dengan sangat gamblang bagaimana gaya kepemimpinan Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu. Sosok pemimpin yang tidak melaksanakan banyak rekayasa pencintraan terhadap dirinya. Tetapi memang benar-benar hadir dan mensolusikan secara kasatmata setiap problem yang menimpa seluruh rakyatnya.

Pertama, Musyawarah

Dalam bermusyawarah, Umar Radhiyallahu Anhu tidak pernah memposisikan dirinya sebagai penguasa. Ia meletakkan dirinya sebagai insan yang sama kedudukannya dengan anggota musywarah lain.

Ketika ia meminta pendapat mengenai satu urusan, ia tidak pernah menyampaikan bahwa ia ialah pemegang kekuasaan, bahkan Umar selalu menanamkan perasan bahwa mereka ialah guru yang akan menunjukkannya ke jalan kebaikan, menyelamatkannya dari kesengsaraan hisab di akhirat, sebab mereka membantunya dengan pendapat-pendapat mereka untuk memperjelas kebenaran.

Kedua, ‘APBN’ untuk Rakyat

Semua kekayaan negara dipergunakan untuk melayani rakyat. Kala itu, sesuai kebutuhan zaman, Umar mendirikan tembok-tembok dan benteng untuk melindungi kaum Muslimin. Umar juga membangun kota-kota untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Umar tidak pernah berpikir mengambil kesempatan atau laba dari ‘APBN’ untuk kesenangan diri dan keluarganya. Malah Umar hidup dengan sangat zuhud, sehingga tidak tertarik dengan kemewahan, kenikmatan dan segala bentuk kebanggaan insan yang gampang kagum dengan harta benda.

Ketiga, Menjunjung tinggi kebebasan

Dalam satu muhasabahnya, Umar berkata pada dirinya sendiri, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”

Menurut Umar, semua orang mempunyai kemerdekaan semenjak lahir ke dunia. Umar sama sekali tidak takut akan kebebasan bangsanya, tidak pula khawatir akan mengancamnya, bahkan ia menyayangi kebebasan insan itu sendiri, ibarat cinta seorang yang mabuk kepayang serta menyanjungnya dengan penuh ketulusan.

Pemahaman kebebasan berdasarkan Umar sangat sederhana dan bersifat universal. Kebebasan menurutnya ialah kebebasan kebenaran. Artinya, kebenearan berada di atas semua aturan. Kebenaran apa itu? Tentu kebenaran Islam, bukan kebenaran kebebasan yang disandarkan pada kecerdikan liberalisme.

Keempat, Siap mendengar kritik

Suatu hari Umar terlibat percakapan dengan salah seorang rakatnya, orang itu bersikeras dengan pendapatnya dan berkata kepada Amirul Mukminin, “Takutlah engkau kepada Allah.” Dan, orang itu menyampaikan hal itu berulang kali.

Lalu, salah seorang sahabat Umar membentak pria itu dengan berkata, “Celakalah engkau, engkau terlalu banyak bicara dengan Amirul Mukminin!”

Menyaksikan hal itu, Umar justru berkata, “Biarlah dia, tidak ada kebaikan dalam diri kalian bila kalian tidak mengatakannya, dan kita tidak ada kebaikan dalam diri kita bila tidak mendengarnya.”

Kelima, Terjun pribadi mengatasi kasus rakyatnya

Sangat masyhur (populer) di kalangan umat Islam bahwa Umar ialah sosok pemimpin yang benar-benar merakyat. Tengah malam, dikala orang terlelap, ia justru patroli, mengecek kondisi rakyatnya. “Jangan-jangan ada yang tidak sanggup tidur sebab lapar,” begitu mungkin pikirnya. [Baca: Belajar “Blusukan’ dari Umar Bin Khattab]

Begitu ia menemukan seorang ibu yang anak-anaknya menangis sebab lapar, sedangkan tidak ada materi makanan yang sanggup dimasak dan disuguhkan, dengan segenap daya Umar pergi ke Baitul Maal dan memikul sendiri sekarung gandum untuk kebutuhan makan keluarga tersebut.
Seperti itulah, setidaknya setiap pemimpin Muslim di negeri ini. Bekerja atas dasar iman, sehingga tidak ada yang didahulukan selain iman, takwa dan kesejahteraan rakyatnya. Ia ‘blusukan’ malam hari, bukan siang hari apalagi hanya sekedar dilihat orang.

Jika lima hal di atas mewujud dalam diri pemimpin hari ini dan agar di masa mendatang, tentu bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, cerdas dan berdikari serta bebas dari intervensi pihak manapun juga. Semoga. Wallahu a’lam.*

Sumber: Hidayatullah


Share Artikel: