Kultus Individu?
Kultus Individu?
Oleh: Ustadz Komiruddin Imron, Lc
(Ketua DSW Lampung)
"Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan". Kalimat yang sering kita dengar menjelang hari pahlawan.
Pahlawan ialah mereka yang berjuang dalam kesulitan untuk menyelamatkan orang banyak. Mereka yang telah mewakafkan waktu, tenaga, harta dan keluarga untuk membebaskan insan dari banyak sekali belenggu yang melilitnya.
Mereka membebaskan insan dari belenggu penjajahan fisik maupun intelektual, belenggu keterbelakangan, kemiskinan, ketakutan, stress berat dan gelapnya masa depan.
Kita kenal Bung Tomo, Jenderal Sudirman, Soekarno, M Natsir dan lain sebagainya. Kita mengingat jasa-jasa, bahkan petuah-petuahnya sering kita jadikan referensi.
Sangat kita yakini, bahwa keberhasilan mereka didukung oleh banyak pihak. Tak kan mungkin dapat berhasil kalau mereka bekerja sendiri.
Tapi mengapa nama mereka yang disebut? Kenapa setiap orang menyebut pesantren Gontor yang terbayang ialah sosok Kiyai Haji Zarkasyi?
Tentu itu alasannya ialah merekalah pelopor utamanya dan tokoh sentral yang membangkitkan gairah dan memompakan semangat.
Apakah saat kita menyebut nama mereka dan mengenang jasa-jasanya, mengutip petuah-petuahnya kita disebut orang yang mengkultuskan individu?
Sejarah telah mencatat sepak terjang mereka. Jejak-jejak langkah mereka tak mungkin dihapus dari lembaran sejarah.
Kita tak mungkin menghapus nama Saifuddin Quthz setiap kali kita menyebut pertempuran di Ainun Jalut,
Tidak mungkin menghapus nama Khalid bin Walid dalam pertempuran Mu'tah,
Tidak mungkin menghapus nama Thalut dalam pertempuran dengan tentara Jalut,
Tidak mungkin menghapus nama Shalahuddin Al Ayyubi dalam pembebasan Palestina.
Jadi, jangan pernah menyampaikan kepada mereka yang mengagumi orang-orang yang telah berjasa untuk selainnya dengan kata-kata kultus individu.
Sebab para pengagum itupun tahu kalau beliau salah tak kan mungkin diikuti.
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Berlaku adillah, alasannya ialah adil itu lebih bersahabat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, bahwasanya Yang Mahakuasa Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan". (QS Al-Maidah: 8)
Natar, 5 Februari 2018