[Catatan Reuni 212 Tahun 2018] GELOMBANG YANG BERGULUNG MENUJU MASA DEPAN


[Catatan Reuni 212 Tahun 2018]
Gelombang Yang Bergulung Menuju Masa Depan

Oleh: Bambang Prayitno

Akhirnya, hari yang ditunggu itupun tiba. Dua Desember Dua Ribu Delapan Belas. Reuni tahun kedua 212.

Saya datang ke lokasi acara 212 sejak pukul 03 dinihari. Ini adalah reuni tahun kedua. Banyak yang bilang reuni 212 tahun ini akan mengecil. Umat tidak lagi antusias, katanya. Beberapa grup WA memang nampaknya sepi menyambut acara reuni. Tapi bagi saya, tidak ada yang berbeda. Ini perasaan yang sama. Perasaan rindu yang sama sejak tahun kemarin reuni diselenggarakan.

Rindu pada syahdunya doa-doa, tangis dan harap sejuta saudara. Rindu pada basah hujan di Jumat yang penuh berkah dua tahun yang lewat. Rindu pada selaksa tawa yang merekah dari saudara sebangsa. Rindu pada pekik takbir dan teriakan merdeka yang terbang ke angkasa. Rindu pada usapan di bahu kita dari saudara yang berasal dari entah tapi usapannya menenangkan hari-hari kita.

Sejak dua hari ini saya sudah persiapkan diri. Mulai dari perlengkapan pribadi, hingga persiapan fisik.

Maka, sampailah saya di hari ini. Menjelang subuh tiba, saya sudah meluncur ke monumen sejarah yang dekat dengan Istana itu.

Sesampai di perempatan Sarinah, saya sudah merasakan bahwa lokasi Monas akan penuh. Perkiraan banyak orang yang mengatakan bahwa peserta Reuni 212 akan mengecil ternyata salah. Ketidakhadiran beberapa tokoh ummat pada acara tahun ini ternyata tidak banyak memberi pengaruh. Saya semakin meyakini bahwa ini adalah gelombang ummat. Ada gejolak di jiwa ummat yang harus kita raba dan eja.

Sesampai di Patung Kuda, saya merasakan bahwa Monas akan penuh. Dan perkiraan saya terbukti. Monas membludak luar biasa. Jamaah yang datang lebih dari yang disangka. Sejak tadi malam, para peserta 212 di Monas sudah susah bergerak. Pada tahun 2016, saya masih bisa mendapatkan tempat di Patung Kuda, itupun datang sekitar pukul delapan pagi. Pada tahun 2017, saya masih mendapatkan shaf di depan panggung. Tahun ini, saya terdesak tak jauh dari pintu masuk. Luar biasa.

Inilah gelombang ummat itu. Dan saya merinding melihat semangat ummat yang semakin membesar.

Gelombang Yang Bergulung Menuju Masa Depan

Pada reuni 212 tahun 2018 ini, saya mendapati juga pemandangan menarik. Yakni; betapa banyak sekali peserta Reuni 212 yang memakai aksesoris berlafadz kalimat tauhid "Laa ilaha illallah Muhammadur Rasulullah". Kalimat yang sempat menjadi momok, terutama oleh segelentir orang di lingkaran kekuasaan, dan menjadi penanda bagi radikalisme dan terorisme.

Salah satu ormas Islam yang menjadi korban dari stigmatisasi yang salah tentang kalimat tauhid ini adalah Hizbut Tahrir. Ormas ini dilarang secara resmi dengan maksud agar kalimat tauhid yang kebetulan menjadi lambang ormas bisa diredam penyebarannya.

Tapi dasar ummat Islam. Semakin ditekan, semakin menggeliat ia. Bukannya kalimat tauhid ini dijauhi. Tapi justru kalimat tauhid ini menjadi semacam kebanggaan tersendiri sekarang. Jadi aksesoris topi, baju, ikat kepala, bendera, dan sebagainya. Sebagian ada yang memakainya dengan asyik, ada yang berfoto dengan bangga. Bahkan tak jarang bendera itu disimpan dan dibawa pulang.

Rupanya, ummat Islam ini sedang mengalami satu suasana kebatinan yang sama. Betapa mereka seperti disisihkan, dilecehkan, dihina, distigmatisasi sebagai biang dari seluruh kekacauan negeri ini. Dan ummat melawannya dengan santai dan riang gembira. Dengan olok-olok yang tidak pernah dibayangkan oleh segelintir orang di lingkaran kekuasaan itu. Ummat berkonsolidasi. Unsur pemersatu ummat yang dulunya hanya Al-Maidah (51), kini meluas. Kalimat Tauhid kini jadi unsur pemersatu. Dan ini luar biasa. Dahsyat.

Tapi ada yang perlu kita pikirkan. Agar gelombang ummat ini berjalan terus menuju masa depan. Tidak hanya sekedar kegetiran dan kegeraman pada situasi hari ini. Tapi juga harus menjadi semacam alat picu bagi perubahan di masa depan. Awalnya adalah konsolidasi dan vergadering. Ujungnya adalah perubahan.

Dalam sejarah pergerakan, mungkin hanya massa Sarekat Islam (SI) era Tjoktoaminoto yang mampu menandingi konsolidasi vergadering ummat saat ini. Saat itu, memang masa-masa kebangkitan Indonesia. Rakyat Indonesia menemukan narasi pembebasan bangsa ada di Sarekat Islam. Dan Tjokro mampu menjurubicarai kehendak hati rakyat.

Ada hal yang menarik. Dalam sejarahnya, seperti banyak tertulis dalam catatan sejarah dan juga dalam filmnya, Tjokro selalu mengulang-ulang dua kata; 'hijrah' dan 'iqra'. Dua kalimat itu ia sisipkan dalam beberapa kali pidato dan banyak sekali percakapan dengan kawan-kawan seperjuangannya.

Bagi Tjokro, Hijrah adalah berpindahnya situasi rakyat kita dari kebodohan menjadi kesadaran nasional. Dari tercerai-berai menjadi terkonsolidasi dan bersatu. Dari diam ditindas menjadi bergerak melawan. Dari minder menjadi percaya diri. Dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang melawan penjajahan dan menghendaki kemerdekaan.

Hijrah menuju situasi ideal yang diharapkan Tjokro tidaklah mudah. Ia slalu saja bertanya kepada kawannya; "sudah sampai dimana hijrah kita". Pertanyaan filosofis ala Tjokro untuk mengevaluasi sudah sejauh mana gerakan rakyat yang ia bangun saat itu.

Sementara iqra yang dimaksud Tjokro adalah kesadaran intelektual ummat atau rakyat membaca gejala zaman. Kesadaran untuk bangkit merubah masa depan sejarah. Menyempurnakan dalam ikhtiar perlawanan.  Iqra berarti sadar akan kelemahan diri. Menyadari kelemahan bangsa ini. Menyadari kelemahan ummat ini. Dan berusaha memperbaikinya.

Hijrah dan Iqra ini akan bermuara pada satu kondisi. Ia yang bernama; gerakan. Karena kita ingin berubah maka kita bergerak. Karena kita bergerak maka terciptalah gelombang. Dan karena gelombang ummat inilah maka Indonesia akan menemui takdir sejarahnya yang gemilang.

Hari ini, seluruh perasaan ummat tentang bangsa ini harus diarahkan. Tidak sekedar berhenti pada gelisah. Tapi juga dalam bentuk gerakan. Kalau kita mau memenangkan kontestasi dalam politik kebangsaan, maka kita harus mengingat kembali pesan penggerak ummat islam Indonesia yang terbaik di zamannya. Ummat harus punya "setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat".

Dengan begitu, gelombang ini akan memenangkan ummat dan bangsa ini pada akhirnya.

Ahad, 2 Desember 2018

(Sumber: fb penulis)

Share Artikel: