Kerap Kritik Pemerintah, Agustinus Edy Kristianto: Saya selalu gelisah terhadap situasi bangsa, makanya saya menulis
By Agustinus Edy Kristianto
Ada komentar yang bilang saya ingin meniru Denny Siregar. Ada juga yang bilang saya seharusnya dijerat UU ITE atas tulisan-tulisan saya. Ada pula yang memaksakan anggapan saya barisan sakit hati karena tak dapat jabatan di pemerintahan/BUMN.
Saya cerita ke beberapa teman dekat, mereka tertawa. Katanya, kalau saya tidak menulis yang begitu-begitu, mau ngapain lagi. Malah aneh.
Ya, betul. Media massa (hukum dan politik) adalah dunia saya. Passion saya di sini.
Saya bukan pansos yang muncul tahun 2012-an ketika buzzer/influencer lagi laku-lakunya untuk kepentingan pemilu. Bukan pula generasi TrioMacan yang muncul beririsan waktunya dengan era itu untuk mengungkap skandal-skandal. Bukan pula generasi pengumpul like dan followers untuk kemudian dijual sebagai monetisasi pengaruh dan politik.
Orang bisa cek track record saya 20 tahun terakhir. Saya begini-begini saja. Dulu maupun sekarang. (Tahu komentar Pak Karni Ilyas tentang saya yang saya pernah dengar dari anaknya? “Itu Agus kok gak kaya-kaya, ya… ” 😁)
Saya menulis skandal/kasus sejak KPK awal berdiri. Dari kasus korupsi helikopter Gubernur Aceh, KPU, BLBI, Probosutedjo, dsb. Saya membuka kasus suap BI. Menulis buku skandal Salim Group, kasus Hambalang (bahkan jadi pelapor), jauh sebelum saya ribut Prakerja. Saya berdebat dengan Menkumham di ILC tentang bantuan dana Australia Rp5 triliun yang saya duga ada kaitannya dengan grasi Corby. Saya membela petugas kebersihan dkk yang tewas dan dipidana dalam kasus JIS.
Saya terlibat dalam proses penelitian rekam jejak calon pimpinan KPK dan KY bersama ICW sejak 2007. Saya terlibat juga sebagai peneliti rekam jejak penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award sejak sebelum Jokowi dinobatkan sebagai penerimanya.
Saya salah satu pendiri Poros Wartawan Jakarta (PWJ) bersama teman-teman wartawan yang ngepos di Diponegoro.
Saya tidak main-main dengan reputasi. Saya sudah jadi mayat kalau main-main dan memperdagangkan diri saya untuk kepentingan pribadi. Sebab saya tahu yang saya tulis itu tentang kekuasaan—dalam bentuk apapun.
Saya tahu dan mengenal mayoritas lingkungan dan orang-orang yang saya tulis. Saya menulis bukan karena benci melainkan karena saya tahu reputasi dan perjuangan mereka dan di sini saya menyalak kalau mereka keluar garis.
Meskipun saya kenal beberapa pentolan baik Jasmev maupun MCA, tapi saya tidak terlibat dalam generasi buzzer-buzzeran. Saya kenal ‘pejabat teras opini’ di barisan 01 dan 02. Saya terlibat diskusi dengan kalangan intelijen, tapi saya tahu porsi saya. Semua adalah bagian dari lingkungan yang menjadi passion saya: media massa.
Dalam dunia pers, saya dibesarkan dari tradisi koran (Media Indonesia). Di dunia NGO, saya berangkat dari dunia advokasi (saya direktur publikasi dan pendidikan publik YLBHI, zaman Ketua Patra Zen, persis setelah kepemimpinan Bang Munarman).
Begitu juga dunia bisnis. Saya tahu Bukalapak sejak dia masih berupa proposal. Pengurus korporasi Gojek saya kenal. Staf khusus Menteri BUMN yang sekarang Komisaris Telkom pun saya tahu, meskipun banyak berseberangan pendapat terutama sejak kasus TPI. Akses ke sejumlah grup konglomerat pun ada (biasanya saya mendapat informasi sebagai pembanding). Begitu pula ke pimpinan lembaga penegak hukum, termasuk advokat.
Saya cuma selalu gelisah terhadap situasi bangsa dan saya menulis. Saya gelisah karena generasi buzzer telah sedikit banyak membuat perpecahan dan terkadang menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai fakta. Saya pahami itu sebagai bagian dari pekerjaan mereka, tapi jangan rusak suasana hidup berbangsa.
Kita boleh berbeda haluan politik, dukungan calon, pilihan kebijakan, ekspresi religius, dan sebagainya. Tapi jangan rusak pribadi-pribadi, jangan umbar pembedaan SARA, cukup ungkapkan saja apa ide dan gagasan kita masing-masing untuk kita perdebatkan.
Saya pun bisa salah, tak selalu benar. Makanya kita saling belajar dan mengingatkan. Buat influencer yang followernya banyak (jauh lebih banyak dari saya), saya cuma mau bilang semakin banyak yang dengar harusnya semakin bertanggung jawab, kredibel, dan mencintai kebenaran.
Bukan semakin menciptakan dongeng dan perpecahan.
Status ini tanggapan saya terhadap berbagai spekulasi yang menyinggung saya. Bahwa tidak benar anggapan-anggapan yang saya sebut di paragraf satu di atas. Tidak ada maksud meniru-niru orang. Tidak ada tujuan jabatan apapun (malah ribet jadi pejabat). Tidak ada maksud merusak pribadi/reputasi orang.
Oke, sekian saja dulu. Nanti kita lanjutkan lagi diskusi tentang topik-topik aktual.
Salam hangat.
[fb]