Pilgub Jabar Dan Jatim: Jurus Mabuk Ala Istana
[PORTAL-ISLAM.ID] Istana “all out” untuk memenangkan pilkada tahun depan. Strateginya: kuasai Jawa, Indonesia akan ada di genggaman tangan. Jokowi agresif membidik bunyi di Jawa. Mengapa? Karena jawa yaitu taruhan nasibnya di pilpres 2019.
Kekalahan Jokowi-PDIP di pilgub Banten dan DKI memaksa istana harus mengkompensasinya dengan kemenangan di Jawa. Jika kalah, nasib Jokowi hampir niscaya selesai zaman dan tamat.
Dimulai Jawa Timur. Semula Jokowi-Cak Imin deal mengusung Syaefullah Yusuf, putra NU darah biru. Maharnya? PKB akan usung Jokowi di pilpres 2019. Belakangan, Jokowi menarik dukungan. Jokowi lebih sreg dengan Khofifah Indra Parawansa. Apa pasal?
Pertama, adanya asumsi: kalkulasi bunyi dan situasi politik Jawa Timur memberi sinyal besar lengan berkuasa ke Khofifah. Ketua Muslimat NU yang selama dua periode menjadi oposisi Pemprov Jatim, dianggap lebih potensial menang dibanding Gus Ipul.
Kedua, Khofifah nurut. Siap masuk barisan “yes sir”. Mensos ini lebih gampang ditaklukkan dibanding Cak Imin. Belajar dari koalisi Cak Imin-Haji Roma dan Cak Imin-Mahfudz MD di 2014, bersekutu dengan Cak Imin menyerupai memelihara singa. Jinak, tapi kalau kecewa dan ada kesempatan, serangan balik sanggup tiba-tiba dan tidak terduga. Jokowi tipe penguasa yang sangat detil dalam menghitung resiko.
Cak Imin kecewa dan marah. Kedekatan Cak Imin dengan AHY, putra mahkota SBY dan manuver spanduk “H. Muhaimin Iskandar Cawapres 2019”, selain ikhtiar branding, boleh jadi yaitu sebuah sinyal perlawanan. Upaya Cak Imin mendekati ketua GNPF Ulama, Bachtiar Nasir, sanggup diartikan sebagai bentuk kesiagaan Cak Imin pisah sekutu dengan istana.
Selain Jawa Timur, Jokowi memainkan kiprah massifnya di Jawa Barat. Ridwan Kamil dipasang, dan semua partai, minus PKS, Gerindra dan PAN diminta mendukungnya. PDIP ogah alasannya yaitu alasan aturan dan konon juga alasannya yaitu “miris” terhadap dilema norma dan moral. Belakangan, Golkar menarik derma dari RK. Alasannya klise: tidak sanggup jatah cawapres. Kabarnya akan diikuti PPP dan PKB dengan alasan yang sama.
Tiga partai koalisi istana kompak berencana meninggalkan RK yang sedang top angka elektabilitasnya. Rasio politiknya susah dimengerti kecuali kalau itu atas isyarat istana.
Koalisi istana di Jabar cerai berai. Tersisa dua kandidat potensial, Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi. Dibanding Demul, Deddy Mizwar lebih menjanjikan alasannya yaitu unggul di popularitas dan elektabilitas. Deddy Mizwar juga bersahabat dengan- dan sanggup diterima oleh- kalangan umat Islam yang anti Jokowi.
Memasang Deddy Mizwar lebih strategis untuk memenangkan pertempuran politik 2018 di Jabar. Apalagi, Demiz yaitu tokoh yang bersahabat dan nurut dengan istana. Persoalan muncul dikala kedekatan ini dicium baunya oleh umat Islam kubu ABJ (Asal Bukan Jokowi). Faktor inilah yang mendorong PKS dan PAN setuju menarik derma dari Demiz atas desakan kelompok ABJ. Perselingkuhan Demiz dengan Jokowi membuat kalangan Islam ABJ kecewa dan marah. Apalagi sesudah terbongkar pakta integritas Demiz yang akan memenangkan Demokrat di Jabar dan calon Demokrat di pilpres 2019. Bagi PKS dan PAN, ini masuk kategori perselingkuhan serius.
Jika Demiz-Demul alhasil diinstruksikan istana diusung partai koalisi penguasa untuk melawan PKS, PAN dan Gerindra, maka perseteruan 212 vs istana, oposisi vs penguasa akan terulang. Ini akan sangat seru. Karena menjadi babak kedua sesudah pilgub DKI. Pertarungan ini akan benar-benar manjadi pemanasan yang bergotong-royong sebelum pilpres 2019. Dua kelompok yang selama ini saling merawat posisi berseberangan.
Dua perkara berkaitan dengan pola koalisi di Jawa Timur dan Jawa Barat menawarkan situasi kegamangan istana. Strateginya kehilangan fokus dan terkesan serampangan. Dalam shaolin, ini masuk kategori “jurus mabuk”. Polanya berubah-ubah dan tidak konsisten.
Situasi ini sanggup dimengerti alasannya yaitu pertama, pilihan berbasis kandidat yang dilakukan istana. Ini tidak kondusif dan rentan perubahan. Elektabilitas kandidat fluktuatif, kecuali kandidat yang besar lengan berkuasa dalam bunyi dan derma partai. Semua kandidat di Jawa Timur dan Jawa Barat berimbang. Mereka rentan jatuh dan terpuruk. Apalagi kalau sang kandidat punya perkara aturan dan ada dilema moral. Faktor kandidat membuat istana selalu berada dalam keraguan.
Kedua, istana sedang dalam keadaan galau. Partai koalisi, terutama PAN dan PKB, sudah mulai bermanuver. Golkar, kini memang dalam kendali istana sesudah Airlangga Hartarto ditetapkan jadi ketua umum pengganti Setnov. Tapi tak berarti ada jaminan langgeng sampai 2019. Jusuf Kalla, Aburizal Bakri, Akbar Tanjung dan para politisi senior Golkar yaitu para politisi gaek yang tidak gampang menyerah. Kalau saja Golkar harus mendukung Jokowi di pilpres 2019, negonya niscaya tidak kecil. Apalagi melihat pisisi Jokowi yang sangat tergantung terhadap Golkar untuk menghindari tekanan PDIP.
Dalam situasi galau, keputusan sanggup tergesa-gesa dan gampang dianulir. Inilah yang kini terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat terkait dengan nama kandidat yang dijagokan istana.
Berbeda nasibnya kalau Jokowi legowo berkoalisi dengan PDIP. Posisi Jokowi akan menguat, tapi syarat mutlaknya harus rela menjadi petugas partai dan diatur ketua umum. Kapolri, ketua BIN, personal di kabinet akan sulit dibuat kecuali atas restu dari ketua umum partai. Yang jelas, cawapres yaitu orangnya ketua umum: satu diantara dua nama yaitu Puan Maharani atau Budi Gunawan kabarnya sudah digadang-gadang. Begitu juga jabatan-jabatan strategis lainnya. Disisi lain, bulat Jokowi, terutama dibawah komando Luhut Binsar Panjaitan, tak akan rela kalau efek PDIP masuk istana.
Kalau bersama Golkar, Jokowi sanggup bernego kira-kira dengan angka 30-40%, maka dengan PDIP angkanya sanggup naik tajam menjadi 80-90%. Lagi-lagi ini perkiraan. Inilah faktor dan alasan mengapa Jokowi sekuat tenaga menghindari PDIP. Jokowi kemudian mendekati Golkar dan membentuk koalisi baru. Yang jelas, Jokowi trauma dengan sejumlah perkara yang terjadi sebelumnya.
Rumor viralnya penolakan kalangan umat Islam terhadap PDIP di Madura, Riau, Sumut, Aceh dan aneka macam wilayah lainnya akan sangat potensial memalsukan semangat Anti Jokowi. Gejala ini akan membuat istana semakin miris.
Ketiga, partai dan massa oposisi menjadi bahaya nyata. Gerilya massa “Asal Bukan Jokowi” atau “ABJ” terus terkonsolidasi. Semua tokoh yang ditempeli nama Jokowi “terdown grade” oleh massa ABJ ini. Menag Lukman Hakim dalam bencana Monas yaitu referensi terbaru. Sebelumnya ada Jendral Gatot Nurmantyo, susah bangkit pasca pernyataan dukungannya kepada Jokowi dua periode. Demiz ditinggalkan koalisi PKS, PAN dan Gerindra juga sesudah tertangkap berair sebagai distributor istana.
Sebaliknya, siapapun nama kandidat yang didukung kelompok ABJ cepat menguat. MayJen (purn TNI) Sudrajat dan Ahmad Syaikhu cepat populer. Sebelumnya publik tidak mengenal identitas dan sosok kedua tokoh ini. Para ulama dan kelompok Islam ABJ gigih menviralkan mereka dan bergerilya membuat derma massa. Kerja mereka efektif. Jaringan GNPF ulama pun ikut bekerja dengan cepat. Semangat mereka satu: “Asal Bukan Jokowi”.
Gejala ini menawarkan bahwa upaya komunikasi yang dibangun istana terhadap kelompok Islam ABJ selama ini gagal. Malah sebaliknya, makin menguatkan perlawanan. Mengapa gagal? Karena istana lebih suka memakai taktik memukul, bulan merangkul.
Sejumlah perkara sweeping pengajian, mulai dari Felix Siauw, Bachtiar Nasir, Gus Nur sampai yang paling selesai yaitu Ustaz Abdussomad, diasumsikan oleh kelompok Islam ABJ sebagai serpihan dari tindakan anarkisme yang didalangi penguasa.
Situasi sosial dan politik di atas telah menyulitkan istana untuk membangun taktik kemenangan yang mulus di pilkada, khususnya Jawa. Inilah yang membuat istana seringkali kebingungan. Sehingga jurus politik yang keluar seringkali menyerupai “jurus mabuk”.
Penulis: Tony Rosyid