Ijazah yang Tak Pernah Diuji, Nurani yang Tak Pernah Menjawab
UGM kesudahannya bicara, namun bukan dengan data. JkW jadinya muncul, namun bukan dengan keberanian. Yang hadir hanyalah skripsi cacat, protokol absurd, dan rakyat yang kian paham bahwa yang hilang bukan cuma ijazah—tetapi rasa aib, harga diri dan nalar sehat.
Selembar ijazah sudah menguji bukan cuma seorang tokoh, tapi seluruh bangsa. Sebuah dokumen akademik yang seharusnya sederhana, kini menjadi pusaran kontroversi paling politis dalam sejarah pendidikan tinggi di negeri ini. Universitas Gadjah Mada, sebagai kampus yang selama ini dihormati sebagai simbol akal dan integritas, tiba-tiba terlihat seperti institusi yang kehilangan keberanian. Ia tidak membisu, namun juga tidak menjawab.
Ketika perwakilan rakyat tiba yang wakili para alumninya menuntut penjelasan, UGM membatasi ruang obrolan hanya dalam satu jam dan lima orang tamu, digeser dari Balairung ke ruang kecil di Fakultas Kehutanan. Skripsi yang ditampilkan pun cacat: tidak ada pengesahan penguji, tidak ada tanggal sidang, dan bahkan font yang digunakan datang dari teknologi periode depan. Narasi "34 bukti akademik" yang dulu disebut-sebut, ternyata tinggal mitos dalam dokumen yang tak kunjung hadir, hadirpun "tesis" yang hanya ada di UGM untuk gelar sarjana S1, di kampus lain tesis untuk menjangkau gelar S2.
Di sisi lain, sang mantan presiden pun akhirnya memberikan dirinya. Tapi bukan untuk membuka tabir, melainkan menambah tirai. Di hadapan wartawan, beliau memberlakukan protokol seperti Orde Otoriter Komunis: HP dikumpulkan, kamera dihentikan, tidak boleh merekam. Yang ditampilkan cuma selembar ijazah, sepintas lalu, dan ketika ditanya lebih lanjut, jawabannya justru membingungkan.
Yang ditolak bukan hanya verifikasi, namun juga iktikad publik. Sebab kebenaran yang tak bisa diuji akan senantiasa meninggalkan jejak ketidakjujuran. Sementara itu, para pembela sang tokoh sibuk mempersiapkan argumen legal. Tapi aturan bukan pengganti nurani. Dan institusi pendidikan bukan ruang sandiwara.
Kita menyaksikan bagaimana sebuah kebohongan, kalau dibiarkan, memerlukan kebohongan lain untuk menutupinya. Dan begitulah seterusnya, sampai ia menjadi jaring yang membelit pelakunya sendiri. Seperti peringatan yang menggema dari periode ke kala:
"Sesungguhnya kebohongan akan terus menuntut kebohongan lain untuk menutupinya, sampai seseorang terjebak dalam jaring yang ia buat sendiri."
George Orwell pun pernah menulis,
"In a time of deceit, telling the truth is a revolutionary act."
(Di abad sarat tipu daya, menyampaikan kebenaran adalah tindakan revolusioner.)
Namun revolusi dalam konteks ini bukan soal turun ke jalan. Ia dimulai dari keberanian satu kampus untuk berkata jujur, dari satu pemimpin untuk memperlihatkan tanggung jawab, dari satu rakyat untuk tidak lagi tunduk pada absurditas kuasa.
Dan hari-hari ini, publik perlahan mulai paham. Yang dicari bukan sekadar legalitas, tetapi kejujuran. Yang dipertanyakan bukan hanya dokumen, namun niat. Dan yang hilang bukan hanya selembar ijazah—melainkan rasa hormat kepada logika, aturan, dan pendidikan itu sendiri.
Jika UGM dan JkW menentukan membisu, maka sejarah yang mau bersuara. Dan bunyi sejarah akan memperoleh jalannya sendiri, hanya soal waktu.
(Sumber: fb)