Jejak Berdarah Ilmu Pengetahuan Iran: Mobil yang Tidak Pernah Sampai Pulang
Mei 2025 lalu, saya berdiri terdiam di tengah ruang terbuka Museum of Holy Defense, Tehran.
Di hadapan saya, ada beberapa mobil tak lagi utuh yang menyimpan cerita penuh perjuangan, saya lalu mendekat ke sebuah mobil sedan, berdiri di balik kaca pelindung. Kacanya bolong, penuh lubang peluru. Bekas darah sudah tak terlihat, tapi atmosfer di sekitarnya masih membekas: sepi, sunyi, tapi bercerita keras.
Mobil itu bukan sembarang mobil.
Itu adalah mobil milik Dr. Mohsen Fakhrizadeh, salah satu ilmuwan nuklir top Iran, yang dibunuh secara brutal pada November 2020.
Namanya disebut-sebut di balik banyak kemajuan riset nuklir Iran, dan juga banyak target di daftar pembunuhan.
Ia tidak sendiri.
Iran mencatat lebih dari lima ilmuwan terkemuka mereka dibunuh selama dua dekade terakhir. Metodenya bervariasi—dari penembakan drive-by (Penembakan dari kendaraan lain), bom magnetik yang ditempel di mobil, hingga operasi jarak jauh via teknologi. Dan banyak di antaranya secara terang-terangan dituding sebagai operasi agen intelijen Israel (Mossad).
Saat melihat deretan mobil-mobil rusak itu dipajang di museum, saya tidak hanya melihat objek mati, tapi pengingat hidup bahwa ilmu pengetahuan pun bisa jadi ladang pertempuran.
Bahwa gelar “ilmuwan” tidak membuat seseorang aman dari kekerasan, jika risetnya menyentuh wilayah yang dianggap mengancam kepentingan global.
Yang membuat saya lebih bergidik—mobil-mobil ini dipajang lengkap dengan koordinat waktu kejadian, fotonya, bahkan potongan berita internasional.
Tidak ada sensasi, tidak ada glorifikasi. Semua tertulis dingin dan tenang. Tapi justru di situlah kesedihannya terasa paling dalam.
Saya sempat bertanya pada sahabat saya, yang sudah berbaik hati mengajak saya ke museum:
“Kenapa mereka memilih memajang mobil-mobil ini secara utuh?”
Dia menjawab pelan,
“Karena ini bukan hanya kendaraan. Ini adalah saksi. Saksi dari apa yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan kami.”
Di ruangan itu, saya mendadak sadar.
Di Iran, ilmu pengetahuan bukan sekadar pencapaian akademis. Tapi bagian dari identitas nasional, perjuangan, bahkan martir.
Sebagai pengunjung dari luar, saya awalnya hanya ingin tahu soal sejarah perang dan revolusi. Tapi ternyata, saya disambut oleh kisah yang lebih sunyi—kisah para ilmuwan yang tidak pernah sampai rumah, dan mobil mereka… yang kini beristirahat di museum, sebagai penanda bahwa ilmu juga bisa dibunuh.
Kalau kamu ke Tehran, sempatkan mampir ke Museum of the Holy Defense. Bukan untuk menyerap kebencian. Tapi untuk mengingat: bahwa ilmu, meski sunyi dan damai, kadang menempuh jalan paling berdarah.
Arian Sahidi
(Mei 2025, Tehran)