Sebanyak 25 wakil menteri (dari total 59 wakil menteri) diangkat sebagai komisaris BUMN, sehingga memanaskan lagi polemik tentang rangkap jabatan.
Harusnya tak butuh lagi ribut-ribut soal rangkap jabatan wamen setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019. Pada halaman 96, terdapat pertimbangan hukum majelis hakim MK yang menyatakan:
".... wakil menteri haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana halnya status yang diberikan kepada menteri. Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri."
Tapi Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, berkata wakil menteri boleh rangkap jabatan. Ia mengakui memang ada kata-kata larangan rangkap jabatan di putusan MK tersebut, tapi itu di bagian pertimbangan, bukan putusan.
Memang agak laen pejabat yang satu ini. Dipikirnya antara pertimbangan dan putusan bukan satu kesatuan. Dia pikir putusan hakim MK itu dihasilkan dari kegiatan melamun kosong tanpa berpikir dan menimbang-nimbang. Dia pikir suatu putusan hukum datang tiba-tiba dari langit bak meteor.
Bahkan—ingat, ya—memasak kepala babi pun harus didahului nalar dan pertimbangan!
Tapi mau bagaimana lagi. Sejak kasus fufufafa dan paman itu, masyarakat agaknya makin "maklum" bahwa pada ujungnya penafsir akhir kebenaran ayat adalah penguasa.
Jika pun dilayani terus logika Istana itu, tak ada gunanya dan malah bikin malu.
Bangsa beradab akan berdebat tentang makna dan cita-cita mulia yang harus diperjuangkan dalam suatu jabatan untuk kepentingan rakyat, sementara kita baru berdebat seperti pada tahap bayi merangkak, yakni semata-mata soal boleh-tidaknya menduduki suatu kursi jabatan.
Saya pikir, jujur saja, salah satu alasan utama mengapa rangkap jabatan semacam itu terjadi adalah karena ada gaya hidup pejabat yang harus dibiayai. Jabatan adalah cermin gaya hidup. Semakin tinggi jabatan, semakin tinggi gaya hidup—tidak pukul rata semua pejabat, tapi kecenderungan mayoritasnya begitu.
Apa "pantas" seorang wamen penghasilan bulanannya di bawah Rp50 juta? Bukankah akan lebih "pantas" kalau penghasilannya Rp1,9 miliar/bulan—seperti hitungan Mahfud MD jika pejabat merangkap komisaris BUMN?
Apa "elok" kalau plafon kredit perbankan untuk wamen cuma sedikit? Bukankah lebih "elok" kalau negara memberikan jaminan penghasilan bulanan yang lebih besar supaya plafon kredit makin besar juga?
Apa "cukup" semua penghasilan dari rangkap jabatan itu? Bukankah lebih mantap lagi kalau wamen, komisaris BUMN, sekaligus punya perusahaan sendiri yang ambil proyek-proyek BUMN juga?
Maka solusinya adalah rangkap jabatan komisaris BUMN. Sebab kalau di kementerian tidak ada anggarannya untuk membiayai gaya hidup tinggi, di BUMN ada.
Ini data bonus/tantiem/kompensasi/remunerasi untuk per komisaris/tahun (di luar gaji dan fasilitas) beberapa BUMN kakap pada 2024: Pertamina Rp75 miliar, Bank Mandiri Rp38,8 miliar, BRI Rp25,9 miliar, Telkom Rp19,5 miliar, dan BNI Rp15,67 miliar.
"Pejabat harus sederhana dan tulus mengabdi buat negara" adalah pemikiran kuno.
Apakah sepenuhnya salah pejabat? Tidak juga. Tapi, kelakuan memperkaya diri dan kelompok melalui jabatan publik akan selalu tumbuh subur di tengah sistem politik berbiaya tinggi, premanisme dan proposalisme yang marak, serta masyarakat yang miskin dan belum sepenuhnya terdidik dalam banyak hal...
Lingkaran setan. Ruwet.
Tapi setidaknya saya mau mengajak Anda semua untuk tidak salah mengajukan pertanyaan. Masalahnya tak sesederhana apa kapasitas, pengalaman, dan kompetensi seseorang untuk menduduki jabatan rangkap, tapi: seberapa tinggi gaya hidup para pejabat yang harus dibiayai negara sehingga ia harus merangkap jabatan?
Bahkan, saya melihat perkembangan berita: upaya percepatan pengentasan kemiskinan rakyat pun harus dimulai dengan mengentaskan kemiskinan pejabat lembaga percepatan pengentasan kemiskinan terlebih dahulu, dengan mengangkatnya pada jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN bertantiem Rp75 miliar.
Artinya, saya tidak bermaksud melarang Anda untuk tidak mengucapkan selamat kepada mereka yang merangkap jabatan komisaris BUMN, tetapi: tepat dan bijaklah dalam mengucapkan selamat.
Ucapkan selamat karena mereka adalah sedikit dari yang dipilih oleh negara dan bank untuk jauh lebih kaya dibandingkan dengan setidaknya 194,4 juta orang negara ini yang miskin—menurut data Bank Dunia, Juni 2025.
Salam,
(Agustinus Edy Kristianto)