@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

MENGAPA HAMAS BELUM BISA DIKALAHKAN

Kenyataan bahwa kelompok perlawanan Palestina Hamas masih berkuasa di Jalur Gaza merupak MENGAPA HAMAS BELUM BISA DIKALAHKAN
[PORTAL-ISLAM]  Kenyataan bahwa kelompok perlawanan Palestina Hamas masih berkuasa di Jalur Gaza merupakan fakta yang tidak terbantahkan lagi. Tujuan utama perang ‘Israel’ untuk membasmi Hamas secara militer dan politik akhirnya masih belum tercapai. 

Dilansir media Israel Ynet News (1/7/2025), menurut para ahli/analis Israel, ada beberapa faktor yang berperan yang membuat hal itu terjadi. Berikut adalah tujuh alasan tersebut;

No. 1: Lebih dari sekadar tujuan militer

Salah satu tujuan perang di Gaza adalah penghancuran sayap militer dan sipil Hamas. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan ‘Israel’ yang didefinisikan secara lebih sempit dalam kampanye terbarunya melawan Hizbullah dan Iran.

Menurut Adi Schwartz dari Misgav Institute, “tujuan ini jauh lebih luas” daripada yang ada di Lebanon atau Iran, yang hanya berfokus pada target militer. Di Gaza, ‘Israel’ bermaksud membongkar seluruh infrastruktur pemerintahan Hamas, baik militer maupun politik.

Hingga taraf tertentu, ‘Israel’ telah berhasil melemahkan Hamas dan memukul mundur operasinya, mirip dengan apa yang dicapainya dengan kemampuan nuklir Hizbullah dan Iran. Namun, tidak seperti dalam kasus-kasus tersebut, Hamas tetap mengendalikan penduduk di wilayah tersebut.

No. 2: 7 Oktober mengubah segalanya

Sejak 7 Oktober 2023, warga ‘Israel’ semakin memahami ancaman nyata yang ditimbulkan oleh Hamas. Pada hari itu, lebih dari 6.000 pejuang Jalur Gaza—sedikit lebih dari setengahnya adalah Hamas—menerobos perbatasan ‘Israel’, membunuh 1.200 orang, dan menculik 251 orang lainnya. Ribuan lainnya terluka.

Berbeda dengan pertempuran ‘Israel’ baru-baru ini, serangan pada tanggal 7 Oktober membuat perang ini menjadi sangat personal dan eksistensial. “Ini adalah perang habis-habisan,” kata Schwartz.

Ini bukan sekadar balas dendam. Warga ‘Israel’—terutama yang tinggal di selatan—tidak dapat melanjutkan hidup mereka dengan rasa aman sampai mereka yakin bahwa Hamas tidak dapat berkumpul kembali dan melancarkan serangan lagi. Beban peristiwa 7 Oktober masih sangat membebani jiwa nasional.

No. 3: Dilema Penyanderaan

Sejak hari pertama, ‘Israel’ harus beroperasi di bawah kendala yang signifikan karena para sandera ditawan di Gaza. “Ada beberapa lingkungan dan kota yang Israel sangat berhati-hati untuk tidak menyerang atau mengebom, karena IDF yakin para sandera ditawan di sana,” kata Schwartz.

“Jika Anda dan saya tahu itu, jelas Hamas juga mengetahuinya. Artinya, mereka bisa menahan para sandera itu dan memiliki wilayah-wilayah ini di mana mereka bisa terus bertempur.” Schwartz menyebut para sandera itu sebagai semacam “selimut keamanan” bagi organisasi perlawanan itu.

Brigadir Jenderal (Purn.) Amir Avivi dari Forum Pertahanan dan Keamanan Israel setuju. Ia mengatakan bahwa telah terjadi ketegangan yang berkelanjutan antara dua tujuan utama: membawa pulang para sandera dan membasmi Hamas. Kadang-kadang, katanya, tujuan-tujuan ini saling bertentangan, persis karena alasan-alasan yang dijelaskan Schwartz.
No. 4: Terowongan, terowongan, terowongan

Memerangi Hamas pada dasarnya berbeda dengan melakukan serangan udara terhadap Iran atau bahkan melancarkan invasi darat terhadap Hizbullah. Salah satu alasan utamanya adalah sistem terowongan Hamas yang rumit dan luas.

Kelompok ini telah membangun lebih dari 200 mil (320 km) terowongan bawah tanah—banyak yang diperkuat dengan beton dan besi—menciptakan medan perang tersembunyi yang secara signifikan mempersulit operasi ‘Israel’.

Avivi menjelaskan bahwa terowongan ini telah digunakan untuk berbagai tujuan: menyembunyikan sandera, menyimpan ratusan roket, RPG, dan alat peledak, serta menyediakan perlindungan bagi pejuang Hamas.

Terowongan tersebut juga telah menetralkan banyak keunggulan militer Israel di medan perang, seperti pengumpulan intelijen yang unggul, serangan udara presisi, dan unit tempur lapis baja yang canggih. Musuh benar-benar telah masuk ke bawah tanah, sehingga semakin sulit untuk ditargetkan dan dikalahkan.

No. 5: Tidak ada negara, tidak ada aturan

Tantangan lain di Gaza adalah tidak adanya mitra yang sah. Di Lebanon, sekitar sepertiga penduduknya adalah penganut Syiah dan mendukung Hizbullah, sepertiga lainnya beragama Kristen, dan sepertiga lainnya beragama Islam. Keberagaman ini memungkinkan adanya keseimbangan politik internal.

“Ada pemerintah di Lebanon yang mencoba,” kata Schwartz. “Kita belum tahu apakah mereka akan berhasil atau tidak, tetapi setidaknya ada seseorang yang bisa diajak bekerja sama di Lebanon untuk mencoba mengekang operasi Hizbullah.”

Sebaliknya, Gaza tidak menawarkan kesempatan seperti itu. “Di Jalur Gaza, terdapat hampir 100 persen penduduk yang pro-Hamas atau setidaknya memiliki ideologi Hamas,” jelas Schwartz. Selain itu, tidak seperti Lebanon atau Iran, ‘Israel’ tidak berperang melawan suatu negara—ia berperang melawan daerah kantong pesisir yang diperintah oleh entitas yang tidak mematuhi aturan perang.

“Ada perbedaan besar antara perang melawan negara dan perang melawan organisasi perlawanan,” kata Harel Chorev, peneliti senior di Moshe Dayan Center. “Sejak awal, orang-orang keliru membandingkan Perang Yom Kippur 1973 atau Perang Enam Hari dengan perang di Gaza. Ini bukan perang konvensional dengan tank melawan tank atau infanteri melawan infanteri.”