@import url('https://fonts.googleapis.com/css2?family=EB+Garamond:ital,wght@0,400..800;1,400..800&display=swap'); body { font-family: "EB Garamond", serif; }

Puncak Pengkristenan Jawa terjadi pasca penumpasan PKI, komunitas abangan eks PKI memilih beralih ke agama Kristen karena Gereja melindungi mereka

Basis massa pedesaan Kristen di Jawa itu belum lama terbentuk Puncak Pengkristenan Jawa terjadi pasca penumpasan PKI, komunitas abangan eks PKI memilih beralih ke agama Kristen karena Gereja melindungi mereka
Puncak Pengkristenan Jawa

Oleh: Arif Wibowo

Basis massa pedesaan Kristen di Jawa itu belum lama terbentuk. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, di Jawa, Kristen masih merupakan agama elite. Departemen Agama wilayah Surakarta misalnya, mencatat, jumlah pengikut Kristen pada tahun 1958 berkisar 4% dari total penduduk.

Mulai tahun 1950-an, berbagai denominasi gereja Evangelis mulai masuk dan menjalankan penginjilan langsung door to door. Mereka memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk akibat inflasi tinggi dan konflik ideologi yang meninggi tensinya dan terjadi dalam skala besar.

Para propagandis evangelis itu memang pantang menyerah. Bayangkan saja, mereka mendatangi rumah KH. Saefuddin Zuhri, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Agama pada era demokrasi terpimpin, dan di depan pak Menteri Agama yang alumni pesantren itu, para misionaris membagikan komik Kristen dan menceritakan kekristenan kepada anak-anak beliau.

Namun, penginjilan dari pintu ke pintu itu belum mengubah wajah demografi keagamaan di pulau Jawa. 

Perubahan signifikan keagamaan itu terjadi pasca penumpasan PKI. Peristiwa mencekam yang seringkali berujung pada penghilangan nyawa para pengikut PKI, menyebabkan banyak komunitas abangan eks PKI memilih beralih ke agama Kristen, sebab waktu itu gereja punya keberanian menampung para pengikut PKI dan memberikan perlindungan hingga mereka tidak menjadi korban persekusi politik.
Gereja juga memberikan santunan kepada keluarga para tahanan politik, termasuk memberikan fasilitas pendidikan kepada anak-anaknya. Kalau kita menjumpai desa dengan penganut Kristen yang besar atau bahkan mayoritas di sekitaran Merapi - Merbabu, Wonogiri dan Kediri, hampir bisa dipastikan, kekristenan mereka adalah pasca penumpasan PKI tahun 1965.

Kebijakan lain yang juga menyebabkan meningginya prosentase Kristen dan Katolik pada masa awal Orde Baru, karena komunisme diidentikkan dengan anti agama, maka negara mewajibkan rakyat Indonesia memilih salah satu dari lima agama yang ada.

Awalnya, pada masa Orde Lama, ada enam agama yang diakui sebagai agama resmi di Indonesia, termasuk Kong Hu Cu. Akan tetapi, Orde Baru yang meyakini keterlibatan Cina dalam pemberontakan PKI melarang segala hal yang berbau Cina. Nama, huruf dan agama Kong Hu Cu dilarang.

Pelarang ini menjadikan masyarakat Tionghoa menjatuhkan pilihannya pada agama Kristen, Katolik ataupun Budha. Pilihan ini bukannya tak beralasan, sebab relasi komunitas Tionghoa dengan gereja sudah berlangsung lama, yakni banyak anak-anak Tionghoa yang sekolah di Yayasan Pendidikan Kristen. Hal ini sudah berlangsung sejak jaman kolonial.

Pada sisi lainnya, kenangan akan kerusuhan anti Cina di Solo, konflik di Kudus menyebabkan Islam sebagai agama yang bukan hanya tidak dilirik tapi ada semacam konsensus sunyi sebagai agama terlarang bagi peranakan Tionghoa.

(fb)